Kamis, 26 Agustus 2010

Mengenal Imam Syafi'i rohimahulloh Lebih Dekat

Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi


TAQDIM
Segala puji bagi Alloh yang membangkitkanpara ulama, penerus dakwah nabawiyyah. Mereka menunjuki orang yang tersesat jalan, sabar menghadapi rintangan, menghidupkan orang mati hatidengan al-Qur‘an, dan menyalakan cahaya Alloh untuk orang-orang yang terlelap dalam kebutaan. Betapa banyak korban Iblis yang mereka sembuhkan dan betapa banyak orang tersesat kebingungan yang mereka selamatkan!
Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia, tetapi alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka! Mereka menepis segala penyelewengan orang-orang yang berlebih-lebihan, kedustaan pembela kebatilan, dan penafsiran orang-orang jahil yang kebingungan — yang melepaskan tali fitnah dan mengibarkan bendera kebid’ahan, mereka berselisih dalam al-Qur‘an,menyelisihi kandungan al-Qur‘an, dan bersatu untuk meninggalkan al-Qur‘an, mereka berkata tentang Alloh dan kitab-Nya tanpa dasar ilmu, menyebarkan syubhat untuk menipu manusiayang dungu. Kita berlindung kepada Alloh dari fitnahyang menyesatkan.1
Di antara deretan para ulama tersebut—insyaAlloh—adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Alloh telah mengangkat derajat beliau dan mengharumkan nama beliau sampai detik ini.
Imam Syafi’i termasuk ulama pembaharu agama yang menyeru manusia untuk kembali kepada al-Qur‘an dan Sunnah serta meninggalkan ilmu kalam. Oleh karenanya, dalam setiap karya beliau bertaburan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan ditunjang oleh dalil-dalil akal dan bantahan terhadap setiap yang menyelisihinya.
Pentingnya Pembahasan Ada beberapa faktor yang mendorong hati kami untuk menulis pembahasan ini, minimal ada empat alasan penting:
1. Imam Syafi’i adalah seorang imam madzhab empat yang pendapat-pendapatnya menjadi pedoman banyak umat Islam, di antaranya adalah negeri kita Indonesia ini yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i. Maka menjelaskan landasan-landasan agama Imam Syafi’i sangatlah penting sekali agar mereka mengetahuinya dan mencontohnya.
2. Meluruskan klaim kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Syafi’i dalam fiqih, tetapi dalam aqidah berpaham Asy’ari, karena ini termasuk kontradiksi yang amat nyata, sebab Imam Syafi’i tidaklah berpaham Asy’ariyyah, bahkan beliau adalah seorang salafi yang mengikuti dalil, baik dalam masalah aqidah dan lainnya.
3. Banyak orang menganggap bahwa manhaj salaf hanyalah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, atau al-Albani dan Ibnu Baz. Maka penjelasan ini membantah dugaan tersebut karena semua imam panutan umat—termasuk Imam Syafi’i—mereka satu aqidah dan manhaj.
4. Membantu saudara-saudara kami para da’i dan para penuntut ilmu ketika berdakwah di masyarakat hendaknya sering menukil ucapan Imam Syafi’i kepada mereka, sebab termasuk cara hikmah dalam berdakwah adalah mengutip perkataan ulama Ahli Sunnah yang dikenal baik di masyarakat luas, serta menghindari penyebutan nama ulama tertentu yang mereka fobia dengan nama-nama tersebut.2 Maka dengan terkumpulnya ucapan-ucapan Imam Syafi’i dalam tulisan semacam ini, diharapkan dapat memudahkan saudara-saudara kami menerapkan metode hikmah ini.
Sumber Aqidah Menurut Im am Syafi’i Pedoman hukum dalam beragama adalah al-Qur‘an, hadits shohih, dan ijma’.
Tentang hujjahnya al-Qur‘an dan hadits, Alloh berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Imam Abdul Aziz al-Kinani rohimahulloh berkata: “Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Alloh adalah kepada kitab-Nya dan maksud mengembalikan kepada Rosululloh sholallohu alaihi wasalam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dinukil dari Ibnu Abbas rodliyallohu anhu dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Alloh merahmati mereka semua.” 3
Adapun dalil bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh4:
Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Nabi sholallohu alaihi wasalam juga bersabda:
Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan umatku bersepakat dalam kesesatan.” 5
Dan inilah yang dijadikan landasan Imam Syafi’i juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut: Imam Syafi’i rohimahulloh berkata:
“Alloh tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun selain Rosululloh sholallohu alaihi wasalam untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat, dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya.” 6
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata:
“Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau.” 7
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: “Sungguh Alloh menjadikan al-haq (kebenaran) berada di dalam al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya.” 8
Mendahulukan Dalil Daripada Akal
Termasuk pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah. Namun, patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah. Adapun akal hanyalah alat untuk memahami.
Maka amatlah salah jika manusia menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil al-Qur‘an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, karena akal manusia terbatas. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i rohimahulloh tatkala berkata: “Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas.” 9
Im am Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat
Disebut ilmu kalam karena ilmu ini hanyalah dibangun di atas ucapan, pendapat, dan logika semata, tanpa dibangun di atas dalil al-Qur‘an dan Sunnah yang shohih. Ilmu kalam sangat banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan filsafat Yunani yang muncul berabad-abad sebelum Islam. Islam tidak membutuhkan ilmu ini sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan, dan penyimpangan.10
Oleh karena itu, para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya.11
Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.12
Imam adz-Dzahabi rohimahulloh berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih.” 13
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: "Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan).” 14
“Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian diarak keliling kampung seraya dikatakan pada khayalak: ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur‘an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.’ ” 15
Imam as-Sam’ani rohimahulloh berkata — setelah membawakan ucapan-ucapan seperti di atas: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti Sunnah. Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan tidak terkalahkan.” 16 [ ]
Catatan kaki:
1 Ar-Rodd ’ala al-Jahmiyyah wa Zanadiqoh hlm. 85 oleh Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Dr. Abdurrohman ’Umairoh.
2 Lihat al-Hatstsu ’ala al-Mawaddah wal I’tilaf hlm. 21–23 oleh Hikmah Dalam Berdakwah hlm. 56 oleh akhuna al-Ustadz Abdullah Zaen, M.A.
3 Al-Haidah wal I’tidzarr fir Roddi ’ala Man Qola Bikholqil Qur‘an hlm. 32, tahqiq Dr. Ali al-Faqihi
4 Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i tentang hujjahnya ijma’ ulama, sebagaimana dalam kisah yang panjang. (Lihat Manaqib Imam Syafi’i hlm. 83 al-Aburri, Thobaqot Syafi’iyyah 2/243 Ibnu Subki, Siyar A’lam Nubala‘ 3/3295 adz-Dzahabi)
5 HR. al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/116, al-Baihaqi dalam Asma‘ wa Shifat: 702. Hadits ini memiliki penguat yang banyak. Al-Hafizh as-Sakhowi rohimahulloh berkata dalam al-Maqoshidul Hasanah hlm. 460: “Kesimpulannya, hadits ini masyhur matannya, memiliki sanad yang banyak, dan penguat yang banyak juga.” Syaikh al-Albani juga menshohihkan dalam ash-Shohihah: 1331 dan Shohihul Jami’: 1848
6 Ar-Risalah hlm. 508
7 Tawali Ta‘sis hlm. 110 Ibnu Hajar
8 Al-Umm 7/493
9 Adab Syafi’i hlm. 271 Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta‘sis hlm. 134 Ibnu Hajar.
10 Lihat tulisan al-Ustadz Armen Halim Naro “Filsafat Islam Konspirasi Keji” Al Furqon Edisi 2 Tahun 6 rubrik Aqidah.
11 Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf terhadap mempelajari ilmu kalam: Pertama: Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan. Kedua: Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur‘an dan hadits serta ulama salaf. Ketiga: Merupakan sebab meninggalkan al-Qur‘an dan Sunnah. (Lihat Shonul Manthiq hlm. 15–33)
12 Lihat peringatan para ulama tentang ilmu kalam dan ahli kalam secara panjang dalam kitab Dzammul Kalam wa Ahlihi oleh Imam al-Harowi dan Shounul Manthiq oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
13 Mukhtashor al-Uluw hlm. 177
14 Hilyatul Auliya‘ 9/111
15 Manaqib Syafi’i 1/462 al-Baihaqi, Tawali Ta‘sis hlm. 111 Ibnu Hajar, Syarof Ashhabil Hadits hlm. 143 al-Khothib al-Baghdadi. Imam adz-Dzahabi v berkata dalam Siyar A’lam Nubala‘ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i.”
16 Al-Intishor li Ashhabil Hadits hlm. 8

Rabu, 18 Agustus 2010

Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah


Banyak hal dalam keseharian kita yang mesti dikoreksi. Karena ada di antara kebiasaan yang lazim berlaku di tengah masyarakat kita namun sesungguhnya menyimpang dari syariat. Berjabat tangan dengan lawan jenis adalah contohnya. Praktik ini tersuburkan dengan minimnya keteladanan dari mereka yang selama ini disebut tokoh agama.

Idul Fithri belum lama berlalu. Kegembiraannya masih tertinggal di tengah kita. Saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya masih terdengar tahni`ah, ucapan selamat, “taqabballahu minna wa minkum1.” Tradisi salam-salaman alias berjabat tangan di negeri kita saat hari raya masih terus berlangsung, walaupun sebenarnya untuk saling berjabat tangan dan meminta maaf tidak perlu menunggu hari raya2. Kapan kita memiliki kesalahan maka segera meminta maaf, dan kapan kita bertemu dengan saudara kita maka kita mengucapkan salam dan berjabat tangan.
Berjabat tangan yang dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahah memang perkara yang ma’ruf, sebuah kebaikan. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan.” (HR. Al-Mundziri dalam At-Targhib 3/270, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah no. 526)
Amalan yang pertama kali dicontohkan oleh ahlul Yaman (penduduk Yaman)3 kepada penduduk Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Kata shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ أَخَاكَ
“Termasuk kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad menyatakan: Sanadnya shahih secara mauquf)
Berjabat tangan telah jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya tata krama sopan santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu akan tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita. Padahal si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Dan juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para wanita, karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian menyentuh. Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah dengan kebiasaan berjabat tangan dengan wanita (dianggap sesuatu yang lazim, bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan mereka ada sebagian ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar di Al-Azhar berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh sebagian mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah pemeluknya sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam berpendapat bolehnya jabat tangan tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang tidak pantas dijadikan dalil, dengan berpaling dari hadits ini4 dan hadits-hadits lain yang secara jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat tangan dengan kaum wanita non-mahram.” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
Dalam membaiat para shahabiyyah sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjabat tangan mereka5. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ اْلآيَةِ بِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى {ياَ أيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ} إِلَى قَوْلِهِ {غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ} قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا، وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ باَيَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” ‘Aisyah berkata, “Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat mereka hanya dengan mengucapkan “Sungguh aku telah membaiatmu”, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non mahram) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan mahram si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi.” Umaimah berkata, “Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu6 wahai Rasulullah!’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, jelaslah larangan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Karena seorang lelaki haram hukumnya menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya. Al-Imam Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata.7 Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Sebagian orang bila ingin berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah atau seorang wanita ingin berjabat tangan dengan lelaki ajnabi, ia meletakkan penghalang di atas tangannya berupa kain, kaos tangan dan semisalnya. Seolah maksud dari larangan jabat tangan dengan ajnabi hanyalah bila kulit bertemu dengan kulit, adapun bila ada penghalang tidaklah terlarang. Anggapan seperti ini jelas batilnya, karena dalil yang ada mencakupinya dan sebab pelarangan jabat tangan dengan ajnabi tetap didapatkan meski berjabat tangan memakai penghalang.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berkata, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik si wanita masih muda ataupun sudah tua. Dan sama saja baik yang menjabatnya itu anak muda atau kakek tua, karena adanya bahaya fitnah (ujian/cobaan) yang bisa didapatkan oleh masing-masingnya.”
Asy-Syaikh juga berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan dengan ataupun tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga dalam rangka menutup celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah (ujian/cobaan).”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”
Tidaklah diragukan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan akan menimbulkan fitnah. Kalaupun ada yang tidak terfitnah maka itu jarang sekali, sementara sesuatu yang jarang terjadinya tidak ada hukumnya sebagaimana dinyatakan oleh ahlul ilmi. Sungguh ahlul ilmi telah menulis permasalahan ini dan mereka menerangkan tidak halalnya laki-laki berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah. Inilah kebenaran dalam masalah ini. Berjabat tangan dengan non mahram adalah perkara yang terlarang, baik dengan pengalas atau tanpa pengalas.”
Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)
Demikian masalah hukum berjabat tangan antara lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Ucapan selamat pada hari Id ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253). Beliau menjawab, “Tidak ada asalnya dalam syariat. Telah diriwayatkan dari sekelompok shahabat bahwa mereka melakukannya. Sebagian imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan selainnya. Akan tetapi Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata, ‘Aku tidak memulai mengucapkannya kepada seseorang. Namun bila ada yang lebih dahulu mengucapkannya kepadaku, aku pun menjawabnya karena menjawab tahiyyah itu wajib.’ Adapun memulai mengucapkan tahni`ah bukanlah sunnah yang diperintahkan dan juga tidak dilarang. Siapa yang melakukannya maka ia punya contoh dan siapa yang meninggalkannya maka ia punya contoh.”
Yang dimaksudkan tahiyyah oleh Imam Ahmad rahimahullahu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
“Dan apabila kalian diberi ucapan salam penghormatan maka jawablah dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang semisalnya.” (An-Nisa`: 86)
2 Saling mengunjungi saat hari raya dan berjabat tangan ketika berjumpa di hari raya, demikian pula saling mengucapkan selamat, bukanlah perkara yang disyariatkan bagi pria maupun wanita. Namun demikian, hukumnya tidak sampai bid’ah. Terkecuali bila pelakunya menganggap hal itu sebagai taqarrub (ibadah yang dapat mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , barulah sampai pada bid’ah karena hal itu tidak pernah dilakukan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Nashihati lin Nisa`, Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 124)
3 Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَماَّ جاَءَ أَهْلُ الْيَمَنِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا مِنْكُمْ، فَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ
Tatkala datang ahlul Yaman, berkatalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh telah datang ahlul Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling halus/lembut hatinya daripada kalian.” (Kata Anas): “Mereka inilah yang pertama kali datang membawa mushafahah (adat berjabat tangan).” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 967, lihat Shahih Al-Adabil Mufrad dan Ash-Shahihah no. 527)
4 Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas.
5 Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (2/213) dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ لاَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ فِي الْبَيْعَةِ
“Beliau tidak menjabat tangan para wanita dalam baiat.” (Dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 530)
6 Dijelaskan oleh Sufyan bahwa maksud mereka adalah, “Marilah engkau menjabat tangan kami.” Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تُصَافِحُنَا؟
“Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjabat tangan kami?’.”
7 Sementara memandang wanita yang bukan mahram dengan sengaja adalah perkara yang dilarang dalam syariat. Bila demikian, tentunya lebih terlarang lagi bila lebih dari sekedar memandang
.

KASIH SAYANG ISLAM KEPADA KAUM PEREMPUAN

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Yahya 


Dahulu, kaum jahiliyah sangat merendahkan dan menghina kaum perempuan. Diantara perbuatan mereka adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup.  Allah telah mencela mereka karena perbuatan biadab tersebut, Allah berfirman :







] يَتَوَارَى مِن الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ [ (النحل : 59).



Artinya : Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. An-Nahl : 59.







Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah shalat mengimami jamaah dengan menggendong Umamah putri Zainab bintu Rasulillah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk mengajari manusia bahwa perbuatan seperti ini dibolehkan di dalam shalat jika diperlukan dan untuk melunakan watak keras jahiliyah yang dibangun diatas kesombongan dan kecongkakan. Sebab bangsa Arab saat itu kasar terhadap anak wanita bahkan mereka menguburnya hidup-hidup.







عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ t : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ e، وَلأَبِي العَاصِ بنِ الرَّبِيْعِ بنِ عَبْدِ شَمْسٍ, فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا(1).



          Dari Abu Qatadah Al Anshari radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, putri Zainab bintu Rasulillah Shallallahu Alaihi Wasallam dan Abul Ash bin Rabi’ bin Abdu Syams. Jika sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri, beliau menggendongnya.



          Maka celaka dan celaka bagi orang yang menanggap bahwa syariat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sewenang-wenang terhadap hak wanita, padahal diantara mereka ada yang mengaku muslim.







Seandainya masih ada orang yang memberikan pemahaman kepada mereka bahwa agama yang benar, adil dan menjaga kemaslahatan dan hak-hak individu adalah Islam. Dan apa yang mereka ucapkan, lihat dan dengar dari ajaran Timur dan Barat adalah berasal dari akal yang sakit, hati yang terbalik dan pandangan yang menyimpang. Tiada pengendalinya selain hawa nafsu dan setan.







Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata :







Islam datang menabur ke dalam hati-hati pemeluknya dengan benih-benih cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak perempuan serta menjanjikan kebaikan atas semua itu.







          Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir secara marfu’ :



((مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ))(2).



Artinya : “Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, kemudian bersabar terhadap mereka, memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian mereka dari jerih keringatnya, maka ketiganya akan menjadi tameng baginya dari api neraka”.







          Kemudian yang wajib bagi para wali adalah berakhlak dengan adab-adab Islam dan mendidik anak-anak perempuannya dengan adab Islam, agar mereka menjadi anggota masyarakat yang shalihah. Pembinaan dan pendidikan ini tidak kurang kewajibannya dari kewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang menjadi kewajiban setiap wali terhadap yang menjadi tanggungjawabnya. Maksudnya, pembinaan tersebut harus berupa bekal ilmu agama.







Adapun mengejar gelar tinggi untuk mencapai karir dan tidak menikah dan (atau) enggan mendapatkan anak dan tidak melaksanakan pekerjaan rumah yang menjadi keharusannya untuk tetap di dalamnya -agar dia menjadi tempat berlabuh bagi suaminya dan menjadi pendidik anak-anaknya-, maka yang demikian ini tidak terpuji. Sebab dia telah meninggalkan tugas islami yang karenanya perempuan itu diciptakan.







Dalam hal ini terdapat beberapa peringatan.







Peringatan pertama : Sesungguhnya yang demikian itu (termasuk) meninggalkan tugas dasar yang karenanya wanita itu diciptakan dan dipersiapkan. Yaitu menjadi tempat berlabuh sang suami yang menambatkan hati kepadanya dan dia menambatkan hati kepada sang suami. Allah Ta’ala berfirman :







] وَمِن آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِن أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ [ (الروم :21).



Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum : 21.







          Sesungguhnya ayat ini adalah bukti terbesar yang menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak akan lurus keadaannya dan tidak merasakan indahnya kehidupan melainkan dengan kehidupan rumah tangga yang mulia, demikian pula wanita.







          Peringatan kedua : Enggan mendapatkan anak dan keturunan. Keturunan adalah anak-anak, dimana kehidupan rumah tangga tidak terasa indah melainkan dengan keberadaan mereka. Dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda :







((تَزَوَّجُوا الوَدُوْدَ الوَلُوْدَ, فَإِنِّي مُكَاثِرُ بِكُمُ الأُمَمَ)).



Artinya : “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, sesungguhnya saya bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat.”







          Perempuan, bagaimana-pun gelar yang dicapainya, sesungguhnya kehidupannya tidaklah indah kecuali dengan keberadaan anak-anak lelaki dan perempuan.







          Saya pernah mendengar bahwa sesungguhnya ada seorang perempuan yang telah menempuh studinya dan berjenjang meraih berbagai gelar sampai dia meraih yang tertinggi. Dan ujung-ujungnya dia berkata : “Ambillah seluruh gelar saya ini dan berikanlah anak untuk saya agar saya bisa bermain-main dengan mereka”.







          Sesungguhnya Allah telah menciptakan para perempuan agar mereka menjadi ibu yang mendidik dan pengasuh yang handal. Apabila dia keluar dan meninggalkan tugas ini, niscaya dia akan menyesal setelah itu dan menginginkannya setelah hilang ditelan waktu dan berlalunya masa muda. Fallaahul musta’aan.







          Peringatan ketiga : Meninggalkan rumah tanpa penjaga yang amanah dan pengatur yang bijak yang dapat mendatangkan kebaikan kepadanya dan keluarganya serta membentengi dari kerusakan.







Allahu Subhanahu telah memerintahkan para perempuan untuk tetap tinggal di rumah-rumah. Dan seorang istri tidaklah menjadi tempat berlabuh bagi suaminya melainkan jika dia tetap tinggal di rumah, mendidik anak-anak, memelihara rumah mengatur segala urusan rumah dan mempersiapkan kebutuhan suami di dalamnya.







          Peringatan keempat : Bahwa yang demikian adalah bertentangan dengan fitrah dan kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah kepada para wanita dengan hikmah yang diketahui-Nya. Secara fisik perempuan telah disiapkan untuk tinggal di rumah dan di dalam lingkungan rumah tangga. Jika dia mengeluarkan dirinya dari lingkungan ini, maka dia bermaksiat kepada Penciptanya dan durhaka kepada masyarakatnya.







          Jadilah dia menyimpang dengan berpaling dari perintah yang karenanya dia diciptakan. Oleh sebab itu, terdapat di dalam hadits :







((لَعَنَ اللهُ المُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَالمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ)).



Artinya : “Allah melaknat kaum perempuan yang menyerupai lelaki dan kaum lelaki yang menyerupai perempuan”.







          Sebab masing-masing mereka telah keluar dari fitrah yang telah ditetapkan dan ingin menetapkan fitrahnya sendiri tanpa sesuai dengan yang telah Allah tetapkan kepadanya







          Terakhir, sesungguhnya barangsiapa yang menghalangi anak perempuannya dari pernikahan syar’I, maka dia telah berbuat kejahatan yang besar kepadanya dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan keji serta mengharamkannya mendapatkan indahnya suami, rumah tangga dan anak-anak.







          Dan tidaklah dia menanti melainkan kemurkaan dari Allah dan kerendahan di dunia atau di akherat atau kedua-duanya. Wabillahit-taufiq. Selesai.

Menyibak Misteri Ibnu Shayyad

Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin 



فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Jika ia (Ibnu Shayyad) adalah dia (Dajjal), engkau tidak akan mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah kamu membunuhnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu no. hadits 6075 dan 6076. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz no. hadits 1354, Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah no. hadits 2930, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu, dalam Kitabul Malahim bab Fi Khabari Ibnu Sha’id no. hadits 4329, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan ‘an Rasulillah no. hadits 2175.
Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah, beliau memberitakan:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ انْطَلَقَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَهْطٍ قِبَلَ ابْنِ صَيَّادٍ حَتَّى وَجَدَهُ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ، وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ يَوْمَئِذٍ الْحُلُمَ، فَلَمْ يَشْعُرْ حَتَّى ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَهْرَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاِبْنِ صَيَّادٍ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَنَظَرَ إِلَيْهِ ابنُ صَيَّادٍ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَرَفَضَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ، ثُمَّ قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاذَا تَرَى؟ قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأْتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ذَرْنِي، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَضْرِبْ عُنُقَهُ. فَقَال لهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ. وَقالَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ: بَعْدَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ (اْلأَنْصَارِيُّ) إِلَى النَّخْلِ الَّتِي فِيْهَا ابْنُ صَيَّادٍ، إِذَا دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ طَفِقَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ وَهُوَ يَخْتِلُ أَنْ يَسْمَعَ مِنِ ابْنِ صَيَّادٍ شَيْئاً قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ ابْنُ صَيَّادٍ، فَرَآهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشٍ فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ، فَرَأَتْ أُمُّ ابْنِ صَيَّادٍ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ، فَقَالَتْ لاِبْنِ صَيَّادٍ: يَا صَافِ! – وَهُوَ اسْمُ ابْنِ صَيَّادٍ - هَذَا مُحَمَّدٌ، فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Bahwasanya Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberitakan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sekelompok orang menemui Ibnu Shayyad. Mereka melihatnya tengah bermain-main dengan sejumlah anak laki-laki di dekat benteng dari tembok batu Bani Maghalah. Ketika itu Ibnu Shayyad adalah seorang bocah yang usianya mendekati baligh, dalam keadaan tidak memerhatikan (kami) hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau dan berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Kemudian Ibnu Shayyad bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah anda bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangkalnya dan berkata: “Aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada Ibnu Shayyad): “Apa yang kamu lihat?” Ibnu Shayyad menjawab: “Datang kepadaku yang jujur dan yang dusta.” Rasulullah berkata kepadanya: “Tercampur padamu persoalan ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (bermaksud menguji): “Aku sembunyikan sesuatu untukmu?” Ibnu Shayyad menebak: “Ad-Dukh (asap/kabut).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.” Mendengar hal itu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia (adalah Dajjal), engkau tidak mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah membunuhnya.”
(Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menambahkan): “Di kemudian hari ketika Rasulullah pergi bersama Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu ke (kebun) kurma, bertemu kembali dengan Ibnu Shayyad di sana (yang sedang berbaring). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mendengarkan sesuatu (igauan) dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad melihatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ibnu Shayyad berbaring di atas kasur ditutupi selembar selimut. Terdengar mulutnya bergumam dari balik sebuah batang pohon kurma. Kemudian ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun membangunkan Ibnu Shayyad: “Wahai Shaf! Ada Muhammad di sini.” Ibnu Shayyad pun bangun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika ibunya membiarkan dia (tidak mengganggunya), maka perkara Ibnu Shayyad akan terungkap (jelas).”

Penjelasan Mufradat Hadits
فِي رَهْطٍ
Artinya sekumpulan dari kaum laki-laki, mulai dari 3 sampai 10 orang.
ابْنِ صَيَّادٍ
Pada sebagian riwayat menggunakan ابْنِ صَائِدٍ seperti dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, hadits no 2926 dan 2927, Sunan Abi Dawud bab Fi Khabari Ibni Sha`id dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma no hadits 4329. (Lihat Sunan Abi Dawud ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, cet. Maktabah Al-Ma’arif)
الصِّبْيَانِ
Dalam riwayat lain dengan lafadz الْغِلْمَانِ jamak dari kata غُلَامٌ dengan men-dhammah huruf ghain dan memfathah huruf lam tanpa ditasydid, yaitu masa sejak kelahiran hingga baligh, dan jika yang dimaksud adalah seorang anak setelah masa baligh, maka dinamai dengannya sebagai kiasan. (Lihat Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 1/155)
عِنْدَ أُطُمِ
Dengan men-dhammah huruf hamzah dan tha, maka jamaknya أُطُمُ atau أُطُومٌ artinya benteng yang dibangun dengan tembok batu, atau setiap rumah persegi empat beratapkan semuanya.
بَنِي مَغَالَةَ
Pada sebagian naskah ابْنِ مَغَالَةَ dan yang masyhur dengan بَنِي مَغَالَةَ dengan mem-fathah mim dan ghain tanpa di-tasydid.
Dalam riwayat Muslim rahimahullahu dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani dengan lafadz Bani Mu’awiyah dengan men-dhammah mim dan menggunakan ‘ain bukan ghain.
Ulama berkata: “Yang masyhur dan dikenal adalah yang pertama بَنِي مَغَالَةَ.”
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “بَنِي مَغَالَةَ yaitu mereka yang di bagian kanan atau di sisi kanan seseorang jika berdiri menghadap ke Masjid Nabawi.”
وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ
Dalam riwayat lain قَدْ نَهَزَ الْـحُلُمَ yaitu قَدْ قَارَبَ الْبُلُوغَ maknanya mendekati masa baligh.
فَلَمْ يَشْعُرْ
Dengan men-dhammah huruf ‘ain bermakna Ibnu Shayyad tidak mengetahui kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dalam keadaan lalai.
Ibnu Shayyad berkata:
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Maksudnya adalah orang-orang Arab, karena kebanyakan mereka tidak bisa menulis dan membaca. Meskipun ditinjau dari sisi lafadz benar, tetapi ditinjau dari sisi makna mengandung kebatilan, yaitu kalimat ini mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hanya untuk orang-orang Arab dan tidak kepada orang-orang ‘ajam, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Kalimat ini walaupun dimaksudkan untuk membenarkan kerasulan, tapi termasuk dari sekian jumlah bisikan kedustaan yang didatangkannya. Dan itu berasal dari setan.
فَرَفَضَهُ
Riwayat ini terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim. Maknanya menyangkal.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Riwayat kami, dalam hal ini dari jamaah, menggunakan shad (فَرَفَصَهُ) yang bermakna menendang. Sebagian ulama berkata: الرَّفَصُ dengan shad maknanya adalah memukul dengan kaki seperti الرَّفس dengan menggunakan huruf sin artinya menendang/menyepak. Jika benar riwayat ini, maka itulah maknanya.”
Dan di dalam Shahih Al-Bukhari dari riwayat Al-Marwazi dengan lafadz فَرَقَصَهُ dengan huruf qaf dan shad.
Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Gharib-nya meriwayatkan dengan lafadz فَرَصَّهُ dengan shad yaitu menekannya hingga badannya terhimpit. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
بُنْيَانٌ مَرْصُوْصٌ
“Bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
Jika muncul pertanyaan: Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuhnya, padahal ia menyeru kenabian di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya ditinjau dari dua sisi:
Pertama: ia dalam keadaan belum baligh.
Kedua: ia berada pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang terikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan para pembesarnya.
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Ma’alimus Sunan memastikan jawaban yang kedua. Beliau berkata: “Menurut saya, kisah ini terjadi pada hari-hari perdamaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi dan tokoh-tokoh mereka. Hal itu terjadi setelah kehadiran beliau di Madinah. Maka ditulislah sebuah perjanjian antara beliau dengan orang-orang Yahudi. Di dalamnya terdapat ishlah agar tidak saling menyerang serta menjauhi urusan masing-masing. Dan Ibnu Shayyad termasuk kalangan mereka atau bagian dari mereka. Dan telah sampai kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perdukunan dan pengakuan mengetahui perkara ghaib yang diserunya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengujinya supaya perkaranya jelas. Maka ketika beliau berbicara dengannya barulah diketahui bahwa ia adalah seorang penyeru kebatilan dari kalangan tukang sihir. Atau orang yang mendatangkan perkataan bangsa jin atau setan yang seringkali menemuinya dan dibisikkan padanya sebagian ucapan mereka.
قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ: مَاذَا تَرَى
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi menggunakan lafadz مَا يَأتِيْكَ. Maknanya, apa yang datang kepadamu berupa berita-berita ghaib dan yang semisalnya.
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
Maknanya adalah terkadang datang berita yang benar dan terkadang datang berita dusta.
خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ
خُلِّطَ adalah kata kerja (fi’il) dalam bentuk pasif berasal dari kata التَّخْلِيطُ bermakna mencampuradukkan.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Tercampur aduk berita yang dibawa setanmu.”
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Maknanya, dia mempunyai beberapa keadaan. Sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Karena itu perkaranya menjadi kabur baginya.”
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ
Artinya, aku telah sembunyikan (di dalam diriku).
خَبِيْئاً
Dalam sebagian riwayat dengan lafadz خَبِيْأَةً (kata yang tersembunyi), supaya kamu beritahukan kepadaku.
هُوَ الدُّخُّ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Yaitu dengan men-dhammah huruf dal dan men-tasydid huruf kha` yaitu suatu istilah bagi ad-dukhan (kabut). Dan penulis Nihayatul Gharib, menghikayatkan dengan mem-fathah dan men-dhammah huruf dal. Adapun yang masyhur pada kitab-kitab lughah dan hadits adalah dengan dhammah saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud dari kata ini adalah ad-dukhan, dan itulah bahasanya.”
Dalam hal ini, Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu tidak sependapat. Beliau berkata: “Tidaklah kata الدُّخُّ mengandung makna ad-dukhan (kabut), karena ia bukanlah perkara yang dapat disembunyikan pada telapak atau lengan baju. Kecuali kalau makna ‘aku sembunyikan untukmu’ itu adalah nama kabut dan nama kabut itu sendiri dalam hal ini diperbolehkan. Dan yang benar serta yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya dari Ibnu Shayyad ayat ad-dukhan yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِيْنٍ
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (Ad-Dukhan: 10)
Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa ia tidak mampu menunjukkan sebagian ayat yang disembunyikan Nabi kecuali sekedar lafadz yang tidak sempurna, sebagaimana kebiasaan para dukun apabila setan membisikkan kepada mereka sesuai (berita dari langit) yang mampu ia curi sebelum meteor mengenainya.
اخْسَأْ
Dengan mem-fathah huruf sin dan mensukun hamzah. Kalimat ini digunakan saat mengusir atau menghalau anjing. Berasal dari kata الْخُسُوءُ bermakna زَجَرَ (mengusir atau menghalau) dan juga dipakai untuk merendahkan atau menghinakan seperti:
زَجْرُ الْكَلْبِ أَيْ امْكُثْ صَاغِرًا أَوْ ابْعُدْ حَقِيْرًا أَوْ اسْكُتْ مَزْجُوْرًا
“Tinggallah engkau dalam keadaan hina, menjauhlah engkau dalam keadaan rendah, diamlah engkau dalam keadaan terusir.”
فَلَنْ تَعْدُوَ
Dengan mendhammah dal, maknanya kamu tidak mampu melampaui.
قَدْرَكَ
Yaitu kemampuan yang dicapai dukun berupa pengetahuan sebagian perkara dan hal-hal yang tidak jelas hakikatnya, serta tidak bisa menjelaskan hakikat perkara ghaib.
فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bermakna: “Biarkan dia. Jika dia adalah orang yang kamu takuti, kamu tidak akan mampu membunuhnya. Tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.” Hal itu disebabkan karena ia masih anak-anak atau tercela (cacat).
Dan disebutkan dalam sebuah hadits dalam Syarhus Sunnah yang artinya: “Jika ia adalah Dajjal maka kamu bukanlah orang (yang membunuhnya), yang membunuhnya hanyalah ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Dan jika dia bukan Dajjal, tidak ada kebaikan bagimu dalam membunuh seorang yang masih dalam perjanjian damai.”
وَهُوَ يَخْتِلُ
Artinya merahasiakan dan mengharapkan ia lalai, agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mendengar sesuatu dari pembicaraannya. Dan beliau serta para shahabatnya ingin mengetahui keadaannya, apakah dia dukun ataukah tukang sihir.
فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ
زَمْزَمَةٌ pada sebagian naskah tertulis رَمْرَمَةٌ seperti yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari. Al-Qadhi rahimahullahu telah menukil dari jumhur riwayat yang tersebut dalam Shahih Muslim dengan زَمْزَمَةُ dan pada sebagiannya tertulis رَمْزَةُ . Itu semuanya bermakna suara yang lirih/pelan, nyaris tidak difahami atau tidak difahami (sama sekali).
فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ
Maknanya adalah beranjak dari tempat tidurnya dan bangun berdiri.
لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Dalam riwayat lain dari jalan Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, ia berkata: Ubai bin Ka’ab berkata: “Maksud kalimat ini adalah:
لَوْ تَرَكَتْهُ أُمُّهُ بَيَّنَ أَمْرَهُ
(Kalau saja ibunya membiarkan dia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan perkaranya).” (lihat Al-Minhaj, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi)

Perselisihan Pendapat tentang Ibnu Shayyad
Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas bahwa Ibnu Shayyad atau dikenal juga dengan Ibnu Sha`id namanya adalah Shaf. Al-Imam Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam kitabnya At-Tadzkirah lil Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah (hal. 570), tentang perkara Ibnu Shayyad, bahwa ada sejumlah hadits dari beberapa shahabat seperti Jabir bin Abdillah, Ibnu ‘Umar, Abu Sai’d Al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhum.
Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan telah terjadi perselisihan yang banyak dan rumit di kalangan manusia menyangkut Ibnu Shayyad. Di antara shahabat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yaitu ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 571-572)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya (Kitabul Fitan no. hadits 2929) dari jalan Muhammad ibnul Munkadir, ia berkata: “Aku melihat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bersumpah (dengan menyebut nama Allah) bahwa sesungguhnya Ibnu Sha`id adalah Dajjal. Aku bertanya: “Apakah engkau bersumpah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bersumpah dalam perkara ini di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan: “Riwayat ini dijadikan dalil oleh beberapa ahlul ilmi akan bolehnya bersumpah dalam perkara yang tidak pasti (zhan) dan tidak disyaratkan harus dalam perkara yang pasti (al-yaqin). Dan ini adalah perkara yang disepakati menurut madzhab kami (Asy-Syafi’iyyah).” (Al-Minhaj, 18/ 258-259)
Dalam riwayat yang lain dari jalan Ibnu ‘Aun, dari Nafi’, ia berkata: Nafi’ berkata tentang Ibnu Shayyad: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku bertemu dengannya dua kali. Pertemuan (pertama) aku berkata kepada salah seorang dari mereka: ‘Apakah kalian membicarakan bahwa dia adalah Dajjal?’ Salah seorang menjawab: ‘Bukan, demi Allah!’ Aku berkata: ‘Demi Allah, engkau berdusta kepadaku. Sungguh sebagian kalian telah mengabarkan kepadaku bahwa Dajjal tidak akan mati sampai ia menjadi orang yang terbanyak harta dan anaknya di antara kalian sebagaimana dia yang dibicarakan hari ini.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: “Kami berbincang-bincang setelah itu. Lalu aku berpisah dengannya.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Aku bertemu dengannya lagi dan matanya telah membengkak. Aku bertanya: ‘Kapan matamu bengkak seperti yang aku lihat?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian aku bertanya lagi: ‘Engkau tidak tahu, padahal mata itu berada di kepalamu?’ Ia pun menjawab: ‘Jika Allah menghendaki, Allah akan menciptakan mata itu pada tongkatmu ini.’ Ibnu ‘Umar berkata: ‘Diapun mendengus keras seperti suara dengusan keledai yang pernah aku dengar. Hingga sebagian sahabatku mengira aku memukulnya dengan tongkat yang bersamaku hingga patah. Dan demi Allah, aku tidak merasa’.”
Kemudian diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku menemani Ibnu Shayyad dalam sebuah perjalanan menuju Makkah. Ia pun berkata kepadaku: ‘Aku telah menjumpai beberapa orang. Mereka menyangka bahwasanya aku ini adalah Dajjal. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya Dajjal itu tidak beranak?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Iapun berkata: ‘Sungguh telah lahir dariku seorang anak -dalam sebagian riwayat: aku tinggalkan anakku di Madinah-.’
‘Bukankah engkau telah mendengar Rasulullah berkata: ‘Dajjal tidak akan masuk Madinah dan Makkah’?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Ia pun berkata: ‘Aku dilahirkan di Madinah dan sekarang ini aku menuju Makkah.’
Pada riwayat yang lain: “Bukankah Nabiyullah telah berkata bahwa dia seorang Yahudi dan sungguh aku seorang muslim?”
Kemudian di akhir pembicaraannya ia berkata kepadaku: “Demi Allah, sungguh aku tahu di mana lahirnya, tempatnya, dan di mana dia sekarang.”
Abu Sa’id berkata: “Ia pun mengacaukan/mengaburkan perkara ini terhadapku.”
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan: “Hikmah yang terdapat dalam perkara Ibnu Shayyad adalah sebuah fitnah (ujian) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-hamba-Nya yang mukmin. Agar orang yang binasa itu menjadi binasa dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu menjadi hidup dengan keterangan yang nyata pula. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji kaum Nabi Musa ‘alaihissalam di zamannya dengan seekor anak sapi. Binasalah sebagiannya dan selamatlah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk.
Telah terjadi perselisihan riwayat tentang perkara Ibnu Shayyad setelah dia tua. Ada riwayat yang menyatakan ia bertaubat dari apa yang telah ia ucapkan. Ia kemudian meninggal di Madinah. Tatkala mereka ingin menyalatkan jenazahnya disingkaplah wajahnya sampai orang-orang melihatnya dan dikatakan kepada mereka: ‘Saksikanlah oleh kalian.’ Kemudian beliau berkata: Syaikh (Abu Sulaiman) berkata: ‘Yang benar dalam perkara ini adalah sebaliknya, berdasarkan sumpah Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu,, yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Dan diriwayatkan pula bahwa Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Dia adalah Dajjal’.” (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 572)
Ibnu Hajar rahimahullahu menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang akan keluar di akhir zaman, dengan beberapa alasan, yang bisa dilihat dalam Fathul Bari dan Asyrathus Sa’ah (ed).
Wallahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=536

Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema”

Penulis: Mazin bin Abdul Karim Al Farih


Berikut ini sepuluh wasiat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.



Wahai wanita mukminah!


Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga tahtamu.


Wasiat Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat


Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah!!


Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: "Ketaatan menyatukan kami dan maksiat menceraikan kami…"

Wahai hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan mencerai-beraikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata "Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…"

Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.

- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan)." (Al Hujuraat: 11)

- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ

"Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya."1


- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.

- Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka."2

- Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.

- Membaca majalah-majalah lawakan/humor.

- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.

- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3

- Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ

"Seseorang itu menurut agama temannya."4

- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: "Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah."

Maka berkata temannya dengan heran: "Bagaimana hal itu bisa terjadi."

Berkata sang suami: "Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’"

Berkata sang suami kepada temannya: "Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’"

Berkata sang suami kepada temannya: "Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’"

Aku jawab: "Ia sebaik-baik istri."

Ibu mertuaku berkata: "Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu."

Berkata sang suami: "Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya."5

Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya."6

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

"Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali."7

Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita: "Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya."8

Engkau termasuk sebaik-baik wanita!!

Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Wanita bagaimanakah yang terbaik?" Beliau menjawab:

اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

"Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya." (Isnadnya hasan)

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

"Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan."9

Wasiat keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan "Wanita yang paling besar barakahnya." Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?! Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً

"Wanita yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya."10

Renungkanlah wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: "Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…"

Adapun sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.

Wasiat kelima: Baik dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Renungkanlah semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia bercerita: "Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung) aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya."

Wasiat keenam: Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri terhadap ibu suaminya dan tidak adanya perhatian akan haknya. Ingatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini, maka jagalah dia atas kesungguhannya dan hargailah apa yang telah dilakukannya. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu. Maka adakah balasan bagi kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh: Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:


مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ يَذْكُرُهَا

"Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya."11

Dalam riwayat lain:

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا

"Aku tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebutnya."12

Suatu kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau menyebut Khadijah:

كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ

"Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!" Maka beliau berkata kepada Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’"13

Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "begini dan begini" (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:

آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَد

"Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak darinya."14

Dialah Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan agama Allah kepada seluruh alam.

Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama:

وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

"Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran."15

Jadilah engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan meridlai kita semua.

Wasiat kedelapan: Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaanya.

Siapa yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari suaminya, ia berkata: "Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…" Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

"Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka adalah kalian." Maka mereka (para wanita) berkata: "Ya Rasulullah kepada demikian?" Beliau menjawab: "Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami."16

Mengkufuri kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan dan kebaikannya padamu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ

"Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan ia tidak merasa cukup darinya."17

Wasiat kesembilan: Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.

Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain." (At Tahriim: 3)

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: "Dia keluar mencari nafkah untuk kami." Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: "Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan." Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: "Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya." Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: "Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu." Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)

Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.

Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: "Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!"

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf."

Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ

"Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya."18

Wasiat terakhir: Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan-kesalahan.

- Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:

لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا

"Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya."19

Tahukah engkau mengapa hal itu dilarang?!

- Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini, akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

- Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.

Dan masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang menjauhi semua kesalahan itu.




Footnote:


1Riwayat Muslim dalam Al-Masajid: (bab Fadlul Julus fil Mushallahu ba’dash Shubhi wa Fadlul Masajid)
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat "Irwaul Ghalil", no. 1269 dan "Shahihul Jami’" no. 6149
3Lihat kitab "Kaif Taksabina Zaujak?!" oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: "Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi." Lihat takhrij "Misykatul Masabih" no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat "Shahihul Jami`us Shaghir" no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam "Mustadrak"nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam "Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah" no. 288
8Lihat kitab "Al Kabair" oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam "Al Hilyah". Berkata Syaikh Al Albany: "Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih." Lihat "Misykatul Mashabih" no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam "Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah" no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab "Manaqibul Anshar", bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam "Fathul Bari", ia berkata: "Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah." Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: "Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani." Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: "Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam "At Taqrib" hal. 520, Al Hafidh berkata: "Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya." Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): "Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan."
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam "Kitab Bad’il Wahyi" dan Muslim dalam "Kitabul Iman"
16Diriwayatkan Bukhari dalam "Kitab Al Haidl", (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam "Kitabul Iman" (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam "Isyratun Nisa’" dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam "An Nikah" (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam "An Nikah" (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: "Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.



(Sumber: الأسرة بلا مشاكل karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih. Edisi Indonesia: Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan "Keluarga Bahagia tanpa Problema", hal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy dari http://akhwat.web.id)