Rabu, 25 Mei 2011

Tak Perlu Malu Menyampaikan Kebenaran

Alkisah, para pembesar kaum Quraisy menawari seorang laki-laki berbagai hadiah yang sangat menggiurkan; Kedudukkan mentereng, wanita-wanita tercantik seantero jazirah Arab, hingga harta yang melimpah ruah.
Semua tawaran tersebut bukanlah hadiah yang bisa dipandang sebelah mata. Sekalipun
demikian, laki-laki tersebut tak bergeser pada sikap teguhnya. Dia yakin, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukannya, merupakan perkara yang sangat mulia, dan jauh lebih berharga dari hadiah-hadiah yang mereka iming-imingkan.
Kemuliaan baginya, sama sekali tidak terletak pada tingginya jabatan, atau melimpahnya harta benda. Tapi, risalah yang dia bawalah, Islam, yang akan menyebabkannya dan pemeluknya mulia. “Al-Islamu Ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi.” (Islam itu tinggi/mulia. Dan tidak ada yang lebih tinggi/mulia dari padanya).
Merasa gagal dengan cara lunak, para pembesar itu mulai mencegahnya dengan cara-cara kasar, bahkan terkadang sangat tidak berprikemanusiaan. Sekali lagi, nyali laki-laki itu tak pernah ciut. Dia tetap beristiqomah dalam menyi’arkan risalah yang dia bawa. Bahkan, dengan tegas beliau berujar, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku tinggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.
Pria itu, tak lain, Muhammad Rosulullah. Pria yang telah membuah gundah gulana para pemembesar kafir Quraisy.
Diri sendiri
Islam adalah agama dakwah. Artinya ia agama yang senantiasa mengajak/menyerukan kepada manusia menuju jalan kebenaran, jalan Allah dan Rosul-Nya.
Seperti apa yang dikemukan oleh Syeikh Ali Mahfudz, seorang ulama dari Mesir, dalam kitabnya ‘Hidayat Al-Mursyidin’,   bahwa dakwah adalah sarana bagi manusia untuk melakukan kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, agar mereka meperoleh kebahagian hidup, di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam al-Quran dan al-Hadits, terdapat banyak sekali dalil yang memerintahkan wajibnya berdakwah. Salah satunya, firman Allah, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikkan/ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Imron 104).
Ketika kemaksiatan dilakukan orang tanpa malu, bahkan sudah di jalan-jalan dan di sekitar kita, apa jadinya tanpa dakwah dan orang-orang yang berani menyampaikan kebenaran?
Di saat banyak orang bangga berselingkuh dan berbuat kemungkaran, apa jadinya tanpa ada orang yang berani mengingatkan?
Dalam sebuah hadits, Rosulullah, bahkan menyerukan umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat dari firman-firman-Nya. Sabda beliau: “Ballighu ‘anni walau ayyah.” (Sampaikan apa saja dariku sekalipun hanya satu ayat).
Hadits di atas mengandung arti, agar kaum Muslimin memiliki ghirah (semamngat) tinggi dalam menyebarluaskan agama Islam ini. Hatta, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat saja, mereka harus tetap memiliki spirit yang tinggi. Apalagi, kalau lebih dari itu, pastinya.
Thoriq bin Ziyad, panglima perang kaum muslimin di Andalusia pernah mengatakan, “Sesungguhnya kemajuan dan kemunduran Islam, itu tergantung pada usaha setiap individu umat Islam itu sendiri, di dalam menyebarkannya”. (Abdul Latip Talip, ‘Toriq bin Ziyad Sang Penakluk Andalusia’: 275).
Ketika kaum muslimin mulai menjauhi dunia dakwah, maka secara tidak langsung mereka telah terlibat dalam melebur kemuliaan agama hanif ini, serta telah ikut serta melemahkan keeksistensiannya. Begitu pula sebaliknya. Ketika syi’ar Islam mereka perjuangkan mati-matian, hingga benar-benar menerangi permukaan bumi,  berarti mereka telah turut andil dalam membangun kemuliaan agama ini, dan para pemeluknya. Kedepannya, kaum mukminin akan diperhitungkan keberadaannya, akan disegani, dan tidak akan pernah dipandang sebelah mata, baik oleh kawan maupun lawan.
Sejarah telah membuktikan, betapa kewibawaan umat Islam melambung tinggi, ketika dakwah Islam menembus batas Afrika, Mesir, Yaman, Palestina, Eropa,  Andalusia dan sekitarnya. Mereka mampu mewarnai dunia dari segala sisi; politik, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, pertanian, dan lain sebagainya.
Mereka benar-benar menjadi refrensi/percontohan kehidupan masyarakat yang makmur, maju, lagi relegius, bagi bangsa-bangsa lain, pada saat itu. Bahkan, kebangkitan Eropa saat ini, pun tidak lepas dari peran kaum muslimin dahulu, di masa kejayaan Islam.
Islam adalah agama yang mulia. Tak sedikit orang yang belum merasakan nikmatnya agama ini. Karena itu, tugas kitalah untuk mendakwahkannya. Dalam al-Quran Allah berfirman: “Kalian adalah sebaik-baik umat yang menyerukan kepada kebaikkan (ma’ruf) dan mencegah yang munkar.” (Al-Imran 110)
Sudah tentu, mengabarkan kebaikan dan kemuliaan tak ada yang ‘gratis’. Ibarat dua keping mata uang, angtara kebaikan, selalu ada jalan terjal. Keduanya seperti sudah ditakdirkan untuk selalu berjalan beriringan.
Di bagian belahan bumi manapun kita berdakwah, maka di situ pasti ada tantangan yang harus kita hadapi. Bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiripun akan terjadi. Di manapun, selalu ada kaum penolak kebaikan dan dakwah.
Firman Allah, “Begitulah bagi setiap Nabi, telah kami adakan musuh dari orang-orang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu pemberi petunjuk dan penolong.” (Al-Furqan: 31).
Dalam perjalanan dakwah, Nabi pernah diusir dari tempat kelahirannya. Beliua menerima cemoohan, hinaan baik berupa perkataan, maupun tindakkan. Pernah suatu hari, ketika Rosulullah berdakwah di Thoif, beliau diusir dan dilempari batu dan kotoran oleh anak-nak kecil, dan budak-budak. Sampai-sampai, Malaikat penjaga gunung merasa  geregetan, ingin menimpakan gunung di tengah-tengah penduduk Thoif. Tetapi, Rosulullah mencegahnya. Beliau justru mendo’akan agar warga Thoif diberikan petunjuk oleh Allah.
Kini, hal serupa tengah dialami kaum Muslimin. Dengan stigma terorisme, umat Islam difitnah di mana-mana. Hanya karena ada pakaian gamis, surban, jenggot dan cadar, seolah sudah dicap pembuat rusuh.
Rasulullah adalan contoh manusia yang luar biasa dalam mengembangkan dakwah dan mengabarkan kebenaran agama Islam. Tak sedikit orang kafir Quraisy menghinanya,  menganggapnya sebagai orang gila, tukang sihir, tukang tenung, penya’ir, dan sebagainya. Bagaimanapun buruk julukkan pada beliau, Nabi tetap berdakwah sambil terus mendoakan. Atas usaha luar biasa Nabi, terbitlah fajar kemenangan di jazirah Arab dan sekitarnya yang mengangibatkan tenggelamnya kejahiliayahan pada saat itu.
Orang-orang berbondong-bondong masuk Islam hingga digambarkan Allah dalam Al-Quran dalam surat An-Nasr: 1-3, yang berbunyi; “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1) Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat (3).”  
Begitulah buah atas  kesabaran dalam dakwah. Tak ada salahnya, jika kita memulai dari diri kita sendiri. Tetaplah bersemangat dalam berdakwah dan mengabarkan kemuliaan Islam ini. Di mana saja dan kapan saja. Di kampung, di kantor atau dalam rumah tangga kita sendiri. Mudah-mudahan, buah ‘kemenangan” yang telah dijanjikan Allah segera datang.


Alkisah, para pembesar kaum Quraisy menawari seorang laki-laki berbagai hadiah yang sangat menggiurkan; Kedudukkan mentereng, wanita-wanita tercantik seantero jazirah Arab, hingga harta yang melimpah ruah.
Semua tawaran tersebut bukanlah hadiah yang bisa dipandang sebelah mata. Sekalipun
demikian, laki-laki tersebut tak bergeser pada sikap teguhnya. Dia yakin, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukannya, merupakan perkara yang sangat mulia, dan jauh lebih berharga dari hadiah-hadiah yang mereka iming-imingkan.
Kemuliaan baginya, sama sekali tidak terletak pada tingginya jabatan, atau melimpahnya harta benda. Tapi, risalah yang dia bawalah, Islam, yang akan menyebabkannya dan pemeluknya mulia. “Al-Islamu Ya’lu wa laa yu’laa ‘alaihi.” (Islam itu tinggi/mulia. Dan tidak ada yang lebih tinggi/mulia dari padanya).
Merasa gagal dengan cara lunak, para pembesar itu mulai mencegahnya dengan cara-cara kasar, bahkan terkadang sangat tidak berprikemanusiaan. Sekali lagi, nyali laki-laki itu tak pernah ciut. Dia tetap beristiqomah dalam menyi’arkan risalah yang dia bawa. Bahkan, dengan tegas beliau berujar, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku tinggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.
Pria itu, tak lain, Muhammad Rosulullah. Pria yang telah membuah gundah gulana para pemembesar kafir Quraisy.
Diri sendiri
Islam adalah agama dakwah. Artinya ia agama yang senantiasa mengajak/menyerukan kepada manusia menuju jalan kebenaran, jalan Allah dan Rosul-Nya.
Seperti apa yang dikemukan oleh Syeikh Ali Mahfudz, seorang ulama dari Mesir, dalam kitabnya ‘Hidayat Al-Mursyidin’,   bahwa dakwah adalah sarana bagi manusia untuk melakukan kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, agar mereka meperoleh kebahagian hidup, di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam al-Quran dan al-Hadits, terdapat banyak sekali dalil yang memerintahkan wajibnya berdakwah. Salah satunya, firman Allah, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikkan/ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Imron 104).
Ketika kemaksiatan dilakukan orang tanpa malu, bahkan sudah di jalan-jalan dan di sekitar kita, apa jadinya tanpa dakwah dan orang-orang yang berani menyampaikan kebenaran?
Di saat banyak orang bangga berselingkuh dan berbuat kemungkaran, apa jadinya tanpa ada orang yang berani mengingatkan?
Dalam sebuah hadits, Rosulullah, bahkan menyerukan umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat dari firman-firman-Nya. Sabda beliau: “Ballighu ‘anni walau ayyah.” (Sampaikan apa saja dariku sekalipun hanya satu ayat).
Hadits di atas mengandung arti, agar kaum Muslimin memiliki ghirah (semamngat) tinggi dalam menyebarluaskan agama Islam ini. Hatta, sekalipun mereka hanya bermodalkan satu ayat saja, mereka harus tetap memiliki spirit yang tinggi. Apalagi, kalau lebih dari itu, pastinya.
Thoriq bin Ziyad, panglima perang kaum muslimin di Andalusia pernah mengatakan, “Sesungguhnya kemajuan dan kemunduran Islam, itu tergantung pada usaha setiap individu umat Islam itu sendiri, di dalam menyebarkannya”. (Abdul Latip Talip, ‘Toriq bin Ziyad Sang Penakluk Andalusia’: 275).
Ketika kaum muslimin mulai menjauhi dunia dakwah, maka secara tidak langsung mereka telah terlibat dalam melebur kemuliaan agama hanif ini, serta telah ikut serta melemahkan keeksistensiannya. Begitu pula sebaliknya. Ketika syi’ar Islam mereka perjuangkan mati-matian, hingga benar-benar menerangi permukaan bumi,  berarti mereka telah turut andil dalam membangun kemuliaan agama ini, dan para pemeluknya. Kedepannya, kaum mukminin akan diperhitungkan keberadaannya, akan disegani, dan tidak akan pernah dipandang sebelah mata, baik oleh kawan maupun lawan.
Sejarah telah membuktikan, betapa kewibawaan umat Islam melambung tinggi, ketika dakwah Islam menembus batas Afrika, Mesir, Yaman, Palestina, Eropa,  Andalusia dan sekitarnya. Mereka mampu mewarnai dunia dari segala sisi; politik, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, pertanian, dan lain sebagainya.
Mereka benar-benar menjadi refrensi/percontohan kehidupan masyarakat yang makmur, maju, lagi relegius, bagi bangsa-bangsa lain, pada saat itu. Bahkan, kebangkitan Eropa saat ini, pun tidak lepas dari peran kaum muslimin dahulu, di masa kejayaan Islam.
Islam adalah agama yang mulia. Tak sedikit orang yang belum merasakan nikmatnya agama ini. Karena itu, tugas kitalah untuk mendakwahkannya. Dalam al-Quran Allah berfirman: “Kalian adalah sebaik-baik umat yang menyerukan kepada kebaikkan (ma’ruf) dan mencegah yang munkar.” (Al-Imran 110)
Sudah tentu, mengabarkan kebaikan dan kemuliaan tak ada yang ‘gratis’. Ibarat dua keping mata uang, angtara kebaikan, selalu ada jalan terjal. Keduanya seperti sudah ditakdirkan untuk selalu berjalan beriringan.
Di bagian belahan bumi manapun kita berdakwah, maka di situ pasti ada tantangan yang harus kita hadapi. Bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiripun akan terjadi. Di manapun, selalu ada kaum penolak kebaikan dan dakwah.
Firman Allah, “Begitulah bagi setiap Nabi, telah kami adakan musuh dari orang-orang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu pemberi petunjuk dan penolong.” (Al-Furqan: 31).
Dalam perjalanan dakwah, Nabi pernah diusir dari tempat kelahirannya. Beliua menerima cemoohan, hinaan baik berupa perkataan, maupun tindakkan. Pernah suatu hari, ketika Rosulullah berdakwah di Thoif, beliau diusir dan dilempari batu dan kotoran oleh anak-nak kecil, dan budak-budak. Sampai-sampai, Malaikat penjaga gunung merasa  geregetan, ingin menimpakan gunung di tengah-tengah penduduk Thoif. Tetapi, Rosulullah mencegahnya. Beliau justru mendo’akan agar warga Thoif diberikan petunjuk oleh Allah.
Kini, hal serupa tengah dialami kaum Muslimin. Dengan stigma terorisme, umat Islam difitnah di mana-mana. Hanya karena ada pakaian gamis, surban, jenggot dan cadar, seolah sudah dicap pembuat rusuh.
Rasulullah adalan contoh manusia yang luar biasa dalam mengembangkan dakwah dan mengabarkan kebenaran agama Islam. Tak sedikit orang kafir Quraisy menghinanya,  menganggapnya sebagai orang gila, tukang sihir, tukang tenung, penya’ir, dan sebagainya. Bagaimanapun buruk julukkan pada beliau, Nabi tetap berdakwah sambil terus mendoakan. Atas usaha luar biasa Nabi, terbitlah fajar kemenangan di jazirah Arab dan sekitarnya yang mengangibatkan tenggelamnya kejahiliayahan pada saat itu.
Orang-orang berbondong-bondong masuk Islam hingga digambarkan Allah dalam Al-Quran dalam surat An-Nasr: 1-3, yang berbunyi; “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1) Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat (3).”  
Begitulah buah atas  kesabaran dalam dakwah. Tak ada salahnya, jika kita memulai dari diri kita sendiri. Tetaplah bersemangat dalam berdakwah dan mengabarkan kemuliaan Islam ini. Di mana saja dan kapan saja. Di kampung, di kantor atau dalam rumah tangga kita sendiri. Mudah-mudahan, buah ‘kemenangan” yang telah dijanjikan Allah segera datang.




Source : http://www.hidayatullah.com/read/15646/02/03/2011/tak-perlu-malu-menyampaikan-kebenaran-.html

Enam Kiat Merajut Benang Ukhuwah

PERJUANGAN Islam tidak akan tegak tanpa adanya ukhuwah islamiyah, begitu istilah yang sering kita dengar. Sayangnya, menjadikan persaudaraan dalam Islam dan iman sebagai dasar bagi aktifitas perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi bukan sesuatu yang mudah, seolah membalik telapak tangan.
Yang banyak terjadi adalah sebaliknya. Perpecahan di kalangan umat yang disebabkan pada hal-hal tidak subtansial.
Oleh karena itu untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya. Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya "Merajut Benang Ukhuwah Islamiyah" merinci satu persatu permasalahan itu, sebagai berikut:
Ta'aruf
Kata ta'aruf berarti saling mengenal. Hendaknya seorang Muslim mengenal saudaranya yang seiman, menyangkut nama, nasabnya dan status sosialnya. Di samping itu, kenalilah juga apa yang disukai dan yang tidak disukainya. Mengenal secara baik karakteristik saudara kita, akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan.
Banyak orang bersahabat pecah karena di antara mereka tidak mengenal apa-apa yang disukai dan apa-apa yang tidak disukai. Sering seseorang berkata, melakukan tindakan yang dinilainya sudah benar, padahal hal itu justru menyakiti hati saudaranya. Itulah fungsi ta’aruf.
Ta'aluf
Ta'aluf adalah menyatunya seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim. Bahwa semangat bersatu kepada saudara seiman dan seakidah hendaknya menjadi jiwa Muslim.
Rasulullah bersabda,"Orang mukmin itu mudah disatukan. Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menyatu dan tidak bisa mempersatukan." (HR.Imam Ahmad

Tafahum
Tafahum adalah sikap saling memahami antara seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim. Dengan menciptakan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (ushuluddin), lalu hal-hal yang berkaitan dengan masalah cabang (furu'iyyah).
Kita sering bertengkar pada urusan furu’ (hal cabang), padahal pada urusan lebih penting, yang pokok-pokok sudah sama.
Bahkan untuk urusan yang furu’ ini energi kita tiada habis-habisnya saling bantah-menbantah. Kita diperingatkan oleh Allah SWT agat tidak saling berbantah-bantahan. "Tatalah kepada Allah dan Rasul-Nya serta janganlah berbantah-bantahan yang akan mengakiibatkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian." (QS.Al-Anfal:46)
Ri'ayah dan Tafaqud
Ia adalah sikap respek seorang Muslim dengan yang lainnya. Bila saudaranya membutuhkan bantuan, maka tanpa dimintanya segera bergegas memberikan bantuannya sesuai dengan kemampuannya.
Termasuk dalam pengertian ri'ayah dan tafaqud adalah menutupi aibnya, serta berusaha menghilangkan rasa cemasnya.
Nah, yang ada di sekitar kita justru sebaliknya. Di media sering kita perhatikan, banyak orang justru membuka aib saudaranya, padahal  Islam memerintahkan kita menutupinya.
Hal-hal seperti ini juga akan menjadi luka dan melukai perasaan yang lain. Akibatnya, di antara mereka menjauhi kita yang berakibat hubungan menjadi tidak dekat dan kurang harmonis.
Ta'awun
Ta'awun berarti saling membantu. Allah SWT memerintahkan kita untuk saling membantu melaksanakan kebaikan (al-birr), dan meninggalkan kemunkaran (at-taqwa). Dengan ber-ta'awun yakni memberi petunjuk kepada saorang Muslim untuk mendapatkan ridha Allah, serta melakukan amal sholeh lebih berharga dari pada memperoleh suatu yang sangat istimewa.
Adalah kisah yang patut jadi contoh kita semua. Ketika media ini menulis hubungan Jamaah Tabligh (JT) dan Salafi terjadi di Pesantren Al Fatah, Temboro, Magetan Jawa Timur.
Di pesantren basis Jamaah Tabligh ini, Salafi dan JT dan Salafi justru tampak ‘mesra’ dan menjalin hubungan bisnis yang baik.
“Dalam hal kejujuran, teman-teman Salafi bisa dipercaya,” kata Ustadz Ubaidillah Ahror, salah seorang putra pendiri Temboro yang akrab dipanggil Gus Ubeid kepada hidayatullah.com.
Sungguh indah jika umat Islam bisa berbisni dan memberikan kesempatan peluang usaha pada teman/saudara seiman yang paling dekat dibanding memberikan peluang itu kepada orang lain yang tidak seiman meski andaikata untuk membeli di orang lain lebih murah harganya.
Alangkah indah jika semuah ormas Islam atau harakah Islam bisa bersikap seperti ini. Mereka lebih suka berhubungan dengan saudaranya sendiri, dibanding orang lain.Itulah semangat ukhuwah.
Rasulullah Saw bersabda, "Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwah yang kau sampaikan kepadanya, sungguh hal itu lebih baik bagimu daripada unta merah.." (HR.Abu Dawud)
Tanashur
Langkah ukhuwah yang terakhir ini adalah sejenis dengan ta'awun.Hanya pengertian tanashur lebih mendalam dan lebih luas lagi, bahkan di sana menggambarkan semangat cinta dan loyalitas.
Tanashur memiliki makna:
-Tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk
-Mencegah sudaranya agar tidak tergelincir dalam tindak dosa dan kejahatan
-Menolongnya menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan kebenaran, hidayah dan dakwah.
-Membrikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi maupun yang menzhalimi (mencegah perbuatan zhalim) tersebut.
Jika kunci-kunci itu bisa kita laksanakan, maka kita akan mendapatkan apa yang pernah dijanjikan Allah atas semua hal itu.
Dalam sebua hadits disebutkan,  ada sebanyak 7 golongan yang mendapatkan perlindunganNya dihari kiamat. 

"Di antara yang kelompok itu adalah dua orang yang menjalin cinta karena Allah,berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah juga." (HR. Ibnu Hibban dari Anas ra.).



source : http://www.hidayatullah.com/read/16461/18/04/2011/enam-kiat-merajut-benang-ukhuwah.html

Damaikan Pertikaian Antara Saudara Muslim mu

Ketahuilah bahwa di antara perkara yang sangat diperhatikan oleh agama Islam adalah terbentuknya masyarakat yang solid dengan menciptakan perdamaian antara mereka yang bertikai. Setiap individu berusaha secara bersama dalam menyatukan kembali sendi-sendi masyarakat tercerai berai, memperbaiki bagian yang terpecah dan hasil yang ingin dituju adalah terbentuknya masyarakat yang baik dan tegaknya jama’ah dalam kesatuan, saling menguatkan dalam menjaga hak-hak pribadi, tolong menolong, dan saling membantu dalam mewujudkan hak-hak bersama dengan mengembangkan sikap berani berkoraban, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, menjaga kehormatan dan membela kemaslahatan masyarakat.
Allah Subhanahuwata’ala dalam al-Quran berfirman;

قال الله تعالى: ﴿لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisa’: 114).
Allah juga telah menjanjikan pahala yang paling baik dan besar bagi setiap orang yang berupaya memperbaiki pertiakain yang terjadi antara sesama manusia dalam segala urusan mereka, guna menjaga persatuan jama’ah kaum muslimin.

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah kalian mau jika aku beritahukan kepada kalian tentang perbuatan yang paling baik dari puasa, shalat dan shadaqah?. Mereka menjawab: Mau wahai Rasulullah?. Beliau menjawab, “Yaitu  mendamaikan pertikaian antara sesama muslim, sesungguhnya rusaknya hubungan antara sesama muslim adalah sebagai pemangkas, aku tidak mengatakan memangkas rambut namun dia bisa memangkas agama.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi).
Menghancurkan kekuatan
Banyak kaum Muslim tak menyadari, bahwa pertikaian, memutuskan tali silaturrahmi dan persaudaraan  --padahal Allah memerintahkan untuk tetap menyambungnya—hanya akan menghancurkan kekuatan umat dan menciptakan kerusakan di muka bumi ini.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: ﴿وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh- musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imron: 103).
Dalam surat lain, Allah Subhanhu Wa Ta’ala juga berfirman:
“…dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46).
Seandainya penyakit seperti ini bisa ditanggulangi sejak dini dan dituntaskan dari sumbernya niscaya kekuatan kebaikan akan mengalahkan arus keburukan, dan jama’ah akan selamat dari segala perpecahan .
Oleh karena itu, umat Islam haruslah kembali ke niat awal dalam agama. Janganlah terpedaya  oleh kehidupan dunia ini dan janganlah terpedaya oleh apapun. Seorang Muslim yang baik, haruslah memperhatikan kemaslahatan pribadinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan berbuat untuk kemaslahatan setelah kematiannya dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan dengan angan-angan yang banyak”. (HR. Turmudzi).
Rasulullah juga berpesan;
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10).
Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepada kalian tentang shadaqah yang dicintai oleh Allah dan RasulNya?. Yaitu engkau mendamaikan antara manusia jika mereka saling marah dan hubungan mereka telah rusak”.
Banyaknya ayat dan nasehat Nabi tentang ini menunjukkan jika beliau ingin umatnya kuat  dan tak suka berpecah-belah.
Untuk menjaga agar barisan Islam kuat, bahkan Islam yang sangat melarang seseorang berbuat bohong, namun dibolehkan jika dalam kondisi itu dilakukan untuk “menjinakkan hati”  dan mempersattukan barisan umat.
Sebagaimana sabna Nabi, “Bukan pembohong orang yang berbohong dalam rangka mendamaikan antara orang yang bertikai untuk menciptakan kebaikan dan berkat yang baik”. (Muttafaq Alaihi).
Marilah kita bersatu, damaikanlah yang sedang berseteru agar tubuh umat Islam kembali kuat. Karena Allah hanya menyukai barisan umat yang kuat.
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash-Ahaff: 4).

source : http://www.hidayatullah.com/read/16088/28/03/2011/damaikan-pertikaian-antara-saudara-muslim-mu.html