Jumat, 19 November 2010

Proposal Nikah

KADO BUAT YANG MAU DAN SIAP MENIKAH..BARAKALLAHU !!
Latar Belakang
Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya cintai dan sayangi, semoga Allah selalu memberkahi langkah-langkah kita dan tidak putus-putus memberikan nikmatNya kepada kita. Amin
Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati..sebagai hamba Allah, saya telah diberi berbagai nikmat. Maha Benar Allah yang telah berfirman : "Kami akan perlihatkan tanda-tanda kebesaran kami di ufuk-ufuk dan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat mengetahui dengan jelas bahwa Allah itu benar dan Maha Melihat segala sesuatu".
Nikmat tersebut diantaranya ialah fitrah kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis.. yaitu: Menikah ! Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah kehancuran yang didapatkannya..Na'udzubillah ! Dan Allah telah berfirman : "Janganlah kalian mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang buruk lagi kotor" (Qs. Al Israa' : 32).
Ibunda dan Ayahanda tercinta..melihat pergaulan anak muda dewasa itu sungguh amat memprihatinkan, mereka seolah tanpa sadar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Seolah-olah, dikepala mereka yang ada hanya pikiran-pikiran yang mengarah kepada kebahagiaan semu dan sesaat. Belum lagi kalau ditanyakan kepada mereka tentang menikah. "Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun Kerja belum mapan , belum cukup siap untuk berumah tangga¡¨, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Mudah-mudahan saya bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.
Ibunda dan Ayahanda tersayang..bercerita tentang pergaulan anak muda yang cenderung bebas pada umumnya, rasanya tidak cukup tinta ini untuk saya torehkan. Setiap saya menulis peristiwa anak muda di  majalah Islam, pada saat yang sama terjadi pula peristiwa baru yang menuntut perhatian kita..Astaghfirullah.. Ibunda dan Ayahanda..inilah antara lain yang melatar belakangi saya ingin menyegerakan menikah.
Dasar Pemikiran
Dari Al Qur¡¦an dan Al Hadits :
  1.  "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).
  2. "Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).
  3. ¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui¡¨ (Qs. Yaa Siin (36) : 36).
  4. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72).
  5. Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
  6. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
  7. Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali. (Qs. An Nisaa (4) : 1).
  8. Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).
  9. ..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..(Qs. An Nisaa' (4) : 3).
  10. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata. (Qs. Al Ahzaab (33) : 36).
  11. Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
  12. Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).
  13. Dari Aisyah, "Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud). 14. Jika ada manusia belum hidup bersama pasangannya, berarti hidupnya akan timpang dan tidak berjalan sesuai dengan ketetapan Allah SWT dan orang yang menikah berarti melengkapi agamanya, sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya." (HR. Baihaqi).
  14. Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
  15. "Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah  (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim) : a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram."
  16. "Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).
  17. Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).
  18. Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).
  19. Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).
  20. Rasulullah SAW. bersabda : "Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah" (HR. Bukhari).
  21. Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya¡¦la dan Thabrani).
  22. Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan terhormat. (HR. Ibnu Majah,dhaif).
  23. Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits).
Tujuan Pernikahan
  1. Melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul.
  2. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
  3. Mewujudkan keluarga Muslim menuju masyarakat Muslim.
  4. Mendapatkan cinta dan kasih sayang.
  5. Ketenangan Jiwa dengan memelihara kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina lainnya).
  6. Agar kaya (sebaik-baik kekayaan adalah isteri yang shalihat).
  7. Meluaskan kekerabatan (menyambung tali silaturahmi / menguatkan ikatan kekeluargaan)
Kesiapan Pribadi
  1. Kondisi Qalb yang sudah mantap dan makin bertambah yakin setelah istikharah. Rasulullah SAW. bersabda : ¡§Man Jadda Wa Jadda¡¨ (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan berhasil melewati rintangan itu).
  2. Termasuk wajib nikah (sulit untuk shaum).
  3. Termasuk  tathhir (mensucikan diri).
  4. Secara materi, Insya Allah siap. ¡§Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya¡¨  (Qs. At Thalaq (65) : 7)
Akibat Menunda atau Mempersulit Pernikahan
  • Kerusakan dan kehancuran moral akibat pacaran dan free sex.
  • Tertunda lahirnya generasi penerus risalah.
  • Tidak tenangnya Ruhani dan perasaan, karena Allah baru memberi ketenangan dan kasih sayang bagi orang yang menikah.
  • Menanggung dosa di akhirat kelak, karena tidak dikerjakannya kewajiban menikah saat syarat yang Allah dan RasulNya tetapkan terpenuhi.
  • Apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan." (HR. Ahmad) dan "Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR. Thabrani dan Baihaqi).. Astaghfirullahaladzim.. Na'udzubillahi min dzalik
Namun, umumnya yang terjadi di masyarakat di seputar pernikahan adalah sebagai berikut ini :
  • Status yang mulia bukan lagi yang taqwa, melainkan gelar yang disandang:Ir, DR, SE, SH, ST, dsb
  • Pesta pernikahan yang wah / mahar yang tinggi, sebab merupakan kebanggaan tersendiri, bukan di selenggarakan penuh ketawadhu'an sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (Pernikahan hendaklah dilandasi semata-mata hanya mencari ridha Allah dan RasulNya. Bukan di campuri dengan harapan ridha dari  manusia (sanjungan, tidak enak kata orang). Saya yakin sekali.. bila Allah ridha pada apa yang kita kerjakan, maka kita akan selamat di dunia dan di akhirat kelak.)
  • Pernikahan dianggap penghalang untuk menyenangkan orang tua.
  • Masyarakat menganggap pernikahan akan merepotkan Studi, padahal justru dengan menikah penglihatan lebih terjaga dari hal-hal yang haram, dan semakin semangat menyelesaikan kuliah.
Memperbaiki Niat :
Innamal a'malu binniyat....... Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungan pada apa-apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera maupun ditangguhkan.
Niat Ketika Memilih Pendamping
Rasulullah bersabda "Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya."(HR. Thabrani).
"Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama". (HR. Ibnu Majah).
Nabi SAW. bersabda : Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab (akibatnya) dapat melahirkan anak yang lemah (baik akal dan fisiknya) (Al Hadits).
Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda, ¡§Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama." (HR. Muslim dan Tirmidzi). Niat dalam Proses Pernikahan
Masalah niat tak berhenti sampai memilih pendamping. Niat masih terus menyertai berbagai urusan yang berkenaan dengan terjadinya pernikahan. Mulai dari memberi mahar, menebar undangan walimah, menyelenggarakan walimah. Walimah lebih dari dua hari lebih dekat pada mudharat, sedang walimah hari ketiga termasuk riya'. "Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."(Qs. An Nisaa (4) : 4).
Rasulullah SAW bersabda : "Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih). Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, "Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)" (HR. Ahmad). Nabi SAW pernah berjanji : "Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya." (HR. Ashhabus Sunan). Dari Anas, dia berkata : " Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya" (Ditakhrij dari An Nasa'i)..Subhanallah..
Proses pernikahan mempengaruhi niat. Proses pernikahan yang sederhana dan mudah insya Allah akan mendekatkan kepada bersihnya niat, memudahkan proses pernikahan bisa menjernihkan niat. Sedangkan mempersulit proses pernikahan akan mengkotori niat. "Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing." (HR. Bukhari dan Muslim)
Pernikahan haruslah memenuhi kriteria Lillah, Billah, dan Ilallah. Yang dimaksud Lillah, ialah niat nikah itu harus karena Allah. Proses dan caranya harus Billah, sesuai dengan ketentuan dari Allah.. Termasuk didalamnya dalam pemilihan calon, dan proses menuju jenjang pernikahan (bersih dari pacaran / nafsu atau tidak). Terakhir Ilallah, tujuannya dalam rangka menggapai keridhoan Allah.
Sehingga dalam penyelenggaraan nikah tidak bermaksiat pada Allah ; misalnya : adanya pemisahan antara tamu lelaki dan wanita, tidak berlebih-lebihan, tidak makan sambil berdiri (adab makanan dimasyarakat biasanya standing party-ini yang harus di hindari, padahal tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang demikian), Pengantin tidak disandingkan, adab mendo'akan pengantin dengan do'a : Barokallahu laka wa baroka 'alaikum wa jama'a baynakuma fii khoir.. (Semoga Allah membarakahi kalian dan melimpahkan barakah kepada kalian), tidak bersalaman dengan lawan jenis, Tidak berhias secara berlebihan ("Dan janganlah bertabarruj (berhias) seperti tabarrujnya jahiliyah yang pertama" - Qs. Al Ahzab (33),
Meraih Pernikahan Ruhani
Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Allah, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Allah dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Allah hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Allah dan untuk Allah.
Betapa indahnya pertemuan dua insan yang saling mencintai dan merindukan Allah. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Allah, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani. KALO KITA BERKUALITAS DI SISI ALLAH, PASTI YANG AKAN DATANG JUGA SEORANG (JODOH UNTUK KITA) YANG BERKUALITAS  PULA (Al Izzah 18 / Th. 2)
Penutup
"Hai, orang-orang beriman !! Janganlah kamu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kepada kamu dan jangan kamu melampaui batas, karena Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Al Maidaah (5) : 87).
Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Qs. Alam Nasyrah (94) : 5- 6 ).
Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya sayangi dan saya cintai atas nama Allah.. demikanlah proposal ini (secara fitrah) saya tuliskan. Saya sangat berharap Ibunda dan Ayahanda.. memahami keinginan saya. Atas restu dan doa dari Ibunda serta Ayahanda..saya ucapkan "Jazakumullah Khairan katsiira". "Ya Allah, jadikanlah aku ridho terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan dan jadikan barokah apa-apa yang telah Engkau takdirkan, sehingga tidak ingin aku menyegerakan apa-apa yang engkau tunda dan menunda apa-apa yang Engkau segerakan.. YA ALLAH BERILAH PAHALA DALAM MUSIBAHKU KALI INI DAN GANTIKAN UNTUKKU YANG LEBIH BAIK DARINYA.. Amiin"
====================================
Dedicated to : My inspiration .... yang pernah singgah dan menghuni "hati" ...Astaghfirullah !! Saat langkah ada didunia maya, tak menapak di bumi-Nya..Lalu, kucoba atur gelombang asa..Robbi kudengar panggilanMu tuk meniti jalan RidhoMu.. Kuharap ada penolong dari hambaMu meneguhkan tapak kakiku di jalan-Mu dan menemani panjangnya jalan dakwah yang harus aku titi.. " Saat Cinta dan Rindu  tuk gapai Syurga dan Syahid di jalanNya makin membuncah.."
====================================
Maraji / Referensi :
  1. Majalah Ishlah, Edisi Awal Tahun 1995.
  2. Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid, 1994, Cet. 27, Bandung, Sinar Baru Algesindo.
  3. Fikih Sunnah 6, Sayyid Sabiq, 1980, cet. 15, Bandung, Pt. Al Ma'arif.
  4. Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Muhammad Faudzil Adhim, 1998, Yogyakarta, Mitra Pustaka.
  5. Indahnya Pernikahan Dini, Muhammad Faudzil Adhim, 2002, Cet. 1, Jakarta, Gema Insani Press.
  6. Rintangan Pernikahan dan Pemecahannya, Abdullah Nashih Ulwan, 1997, Cet. 1, Jakarta, Studia Press.
  7. Perkawinan Masalah Orang muda, Orang Tua dan Negara, Abdullah Nashih Ulwan, 1996, Cet. 5, Jakarta, Gema Insani Press.
  8. Kebebasan Wanita, jilid 1, 5, 6, A.H.A. Syuqqah, 1998, Cet.1, Jakarta, Gema Insani Press
  9. Sulitnya Berumah Tangga, Muhammad Utsman Al Khasyt, 1999, Cet. 18, Jakarta, Gema Insani Press.
  10. Majalah Cerdas Pemuda Islam Al Izzah, Wahai Pemuda, Menikahlah, No. 17/Th. 2 31 Mei 2001, Jakarta, YPDS Al Mukhtar.

Rabu, 03 November 2010

Pengertian Nasehat

Kata "nasehat" berasal dari bahasa arab, dari kata kerja "Nashaha" yang berarti "khalasha", yaitu murni serta bersih dari segala kotoran, juga bisa berarti "Khaatha", yaitu menjahit. [1]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah menukil ucapan Imam Khaththabi rahimahullah, "Nasehat itu adalah suatu kata untuk menerangkan satu pengertian, yaitu keinginan kebaikan bagi yang dinasehati."[2]

Imam Khaththabi rahimahullah menjelaskan arti kata "nashaha" sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah, "Dikatakan bahwa "nashaha" diambil dari "nashahtu al-'asla", apabila saya menyaring madu agar terpisah dari lilinnya sehingga menjadi murni dan bersih, mereka mengumpamakan pemilihan kata-kata agar tidak berbuat kesalahan dengan penyaringan madu agar tidak bercampur dengan lilinnya.

Dan dikatakan kata "nasehat" berasal dari "nashaha ar-rajulu tsaubahu" (orang itu menjahit pakaiannya), apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan perbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang robek."[3]

Arti ucapan beliau shalallahu 'alaihi wasallam "Dien itu adalah nasehat" adalah bahwa nasehat itu merupakan tiang serta tonggak dari dien ini sebagaimana sabda beliau, "Haji itu adalah Arafah," [4]

maksudnya wuquf di Arafah merupakan tiang serta rukun dari ibadah haji.

Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun 394H) berkata dalam kitabnya Ta'dzimu Qadri As-Shalat mengenai arti nasehat kepada Allah.

"Sebagian ahli ilmu berkata: Penjelasan arti nasehat secara lengkap adalah perhatian hati terhadap yang dinasehati siapa pun dia, dan nasehat tersebut hukumnya ada dua, yang pertama wajib dan yang kedua sunnah. Maka nasehat yang wajib kepada Allah, yaitu perhatian yang sangat dari penasehat dengan cara mengikuti apa-apa yang Allah cintai, berupa pelaksanaan kewajiban dan dengan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan. Sedangkan nasehat yang sunnah adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allah dari pada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri, yang demikian itu dalam dua perkara yang berbenturan. Yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabbnya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabbnya terlebih dahulu dan mengakhirkan apa-apa yang untuk dirinya sendiri, maka ini adalah penjelasan nasehat kepada Allah secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas. Maka nasehat yang wajib kepada Allah adalah menjauhi laranganNya, dan melaksanakan perintahNya dengan seluruh anggota badannya apa-apa yang mampu ia lakukan, apabila ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena suatu alasan tertentu seperti sakit atau terhalang dengan sesuatu atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut apabila penghalang tadi telah hilang.

Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.

"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka menasehati kepada Allah dan RasulNya (cinta kepada Allah dan RasulNya). Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [At-Taubah : 91]

Maka Allah menamakan mereka sebagai "Al-Muhsinin" (orang-orang yang berbuat baik) karena perbuatan mereka, berupa nasehat kepada Allah dengan hati-hati mereka yang ikhlas, ketika mereka terhalangi untuk berjihad dengan jiwa raganya, dan dalam kondisi tertentu mungkin bagi seorang hamba dibolehkan meninggalkan amalan-amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasehat kepada Allah, seperti orang yang sakit yang tidak bisa menggerakkan badannya dan tidak dapat berbicara, tetapi akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban nasehat kepada Allah dengan hatinya, disertai dengan penyesalan akan dosa-dosanya, dan berniat dengan sungguh-sungguh apabila sehat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang untuk mengerjakannya, kalau tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allah dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan laranganNya), maka ia tidak disebut telah menasehati kepada Allah dengan hatinya. Dan termasuk nasehat kepada Allah adalah taat kepada Rasul Nya shalallahu 'alaihi wasallam dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabbnya, dan termasuk nasehat yang wajib kepada Allah adalah dengan membenci dan tidak ridha terhadap maksiat orang yang berbuat maksiat dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allah dan RasulNya.

Sedangkan nasehat yang sunnah, bukan yang wajib, adalah dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allah dari setiap yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan sampai-sampai dari dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasehat apabila bersunggguh-sungguh kepada siapa yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat senang dan cinta siapa yang
dicintainya, maka begitu pula penasehat kepada Allah, dan barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah untuk Allah tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasehat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasehat dengan sebenarnya secara sempurna." [5]

Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah (wafat tahun 1163 H) berkata.

"(Nasehat) kepada Allah adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Tuhannya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam uluhiyahNya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, dan permisalan, serta apa-apa yang tidak pantas bagiNya.

Dan Dia itu mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan keagunganNya, dan seorang muslim harus mengagungkanNya dengan sebesar-besar pengagungan, dan mengamalkan amalan zhahir dan batin yang Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci, dan dia cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah benci, dan ia meyakini apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang batil itu sebagai suatu kebatilan, dan hatinya penuh dengan cinta dan rindu kepadaNya, ia bersyukur akan nikmat-nikmatNya, dan sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan qadlaNya."[6]

Imam Nawawi dan Ibnu Rajab rahimahumallah menyebutkan bahwa termasuk nasehat kepada Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepadaNya dan berda'wah mengajak manusia kejalan Allah.[7]

Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata.

"Hakikat kata 'kepada Allah' sesungguhnya kembali kepada hamba itu sendiri dalam nasehatnya kepada diri sendiri, karena Allah Ta'ala tidak butuh akan nasehatnya penasehat."[8]


[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
________
Foot Note.
[1]. Lihat Lisanul Arab, juz 14, bagian kata "Nashaha"
[2]. Jami'ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal. 219
[3]. Syarah Shahih Muslim, Juz 2, hal. 33
[4]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33 dan Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah, oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied hal. 32
[5]. Ta'dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2, hal. 691-692
[6]. Dalam kitabnya Syarah Al-Arba'in An-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah, hal. 47-48
[7]. Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, Juz 1 hal.222, dan Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33
[8]. Lihat Syarah Shahih Muslim, Juz 2 hal. 33

source: http://www.almanhaj.or.id/content/1832/slash/0

Ikhtilath Sebuah Maksiat

Secara bahasa Ikhtilath berarti percampuran; perubahan ingatan. Tetapi yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini adalah Ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya. Sementara itu dari perkataan para ahli ilmu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan Ikhtilath adalah percampuran atau berdesak-desakan antara orang-orang laki-laki dengan para wanita. Di antara perkataan mereka adalah:

1. Ketika Imam Abu Bakar Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusi rahimahullah menyebutkan berbagai macam bid’ah, beliau berkata: “Dan (termasuk bid’ah) keluarnya orang-orang laki-laki bersama-sama atau sendiri-sendiri bersama para wanita dengan berikhtilath”. [Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

2. Kemudian Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi mengomentari ucapan Imam Ath-Thurthusi rahimahullah di atas dengan perkataan: “Ini (ikhtilath) terlarang, tidak boleh. Oleh karena itulah penulis memasukkannya (ke dalam bid’ah). Dan dalil-dalil diharamkannya ikhtilath sangat banyak, sebagian (ulama) yang cemburu (terhadap agama) –mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepada mereka- telah mengumpulkan dalil-dalil itu di dalam buku-buku tersendiri. Adapun orang-orang yang tersilaukan oleh pelacuran Barat yang kafir, yang tertipu oleh kesesatan peradaban modern, menurut persangkaan mereka!!!, mereka terombang-ambing di dalam kegelapan-kegelapan mereka, berbuat sembarangan di dalam kebodohan mereka, mencari-cari fatwa-fatwa dari berbagai tempat yang membolehkan ikhtilath semacam ini untuk mereka…padahal ikhtilath itu, demi Allah, merupakan kesesatan yang nyata! Mudah-mudahan mereka berfikir…dan kembali menuju kebenaran”. [Catatan kaki Kitab Al-Hawadits Wal Bida’, hal:151, Dar Ibnil Jauzi, cet:I, th:1411 H – 1990 M, ta’liq: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi]

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya".

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu. [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 568, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ikhthilath (bercampur-baur) orang-orang laki-laki dengan para wanita di jalan itu adalah dengan berdeasak-desakan atau berjalan bersama-sama, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para wanita agar berjalan di pinggir jalan.

4. Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: "Dan sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf." [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

5. Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, seorang ulama dari Yaman) berkata: "Saling berdesakan antara para wanita dengan orang-orang laki-laki, termasuk sebab-sebab (jalan-jalan) fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-Red). Oleh karena itulah Nabi n tetap di tempatnya sebentar (setelah shalat), begitu juga para sahabat yang bersama beliau, sebagaimana di dalam riwayat Bukhari (no:866), sedangkan para wanita langsung berdiri setelah salam. Tetapi di zaman kita telah terjadi ikhtilah pada banyak pekerjaan, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan lainnya". [Nashihati Lin Nisa’, hal:120, Darul Haramain, cet:I, th:1421 H – 2000 M].

6. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid juga mengisyaratkan makna ikhtilath ketika beliau menjelaskan beberapa syarat keluarnya wanita menuju masjid. Beliau berkata: “Hendaklah (wanita) tidak berdesakkan dengan orang-orang laki-laki, baik di jalan atau di (masjid) Jami’. [Hirasatul Fadhilah, hal:100, Darul ‘Ashimah, cet:II, th: 1421 – 2000 M]

MACAM-MACAM IKHTILATH DAN HUKUMNYA
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah pernah ditanya: "Bolehkah ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita jika aman dari fitnah (hal yang membawa kepada kemaksiatan-pen)?".
Beliau menjawab: "Ikhtilah (bercampur-baur) antara orang-orang laki-laki dengan para wanita ada tiga keadaan:

1. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki mahram mereka. Ini tidak ada kekaburan tentang bolehnya.

2. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) untuk tujuan kerusakan (maksiat-pen). Ini tidak ada kekaburan tentang haramnya.

3. Ikhtilah antara para wanita dengan orang-orang laki-laki asing (bukan mahram) di majlis-majlis ilmu (sekolah; madrasah; dan lain-lain-Red), toko-toko (warung; kedai), perpustakaan-perpustakaan, rumah-sakit-rumah-sakit, pesta-pesta, dan yang semacamnya. Ini pada hakekatnya, penanya kemungkinan menyangka pada pandangan yang pertama bahwa hal ini tidak akan menjadikan mereka saling terfitnah (tergoda untuk berbuat kemaksiatan-pen) dengan yang lain.

Untuk mengetahui hakekat bagian (ke 3) ini, maka kami akan menjawab secara global dan secara terperinci.

Adapun secara global: Bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan kekuatan bagi laki-laki dan naluri tertarik kepada wanita. Demikian juga Allah telah menjadikan naluri wanita tertarik kepada laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya. Maka jika terjadi percampuran (antara keduanya) niscaya timbullah dampak-dampak yang menimbulkan tujuan yang buruk, karena sesungguhnya jiwa itu banyak memerintahkan kepada keburukan, dan hawa-nafsu akan membutakan dan menjadikan tuli, serta syaithan akan memerintahkan kekejian dan kemungkaran.

Adapun secara terperinci: Bahwa syari’at itu dibangun di atas al-maqashid (tujuan-tujuan) dan wasa-il (sarana-sarana) nya. Dan sarana yang menghantarkan kepada satu tujuan memiliki hukum yang sama dengan tujuan. Wanita adalah tempat untuk menyalurkan kebutuhan laki-laki, dan Pembuat syari’at telah menutup pintu-pintu yang menghantarkan kepada keterikatan setiap individu dari kedua jenis itu kepada yang lain. Hal itu akan nampak jelas dengan dalil- dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang akan kami paparkan:

DALIL-DALIL DARI ALKITAB
1. Allah Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ اْلأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَاىَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

"Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:"Marilah ke sini". Yusuf berkata:"Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung". [Yusuf:23]

Sisi pengambilan dalil: Yaitu ketika terjadi ikhthilath (percampuran) antara istri Aziz Mesir dengan Nabi Yusuf alaihissallam, muncullah (nafsu) wanita itu, yang dahulunya terpendam, maka dia meminta kepada Nabi Yusuf untuk mencocoki (kemauan) nya. Tetapi beliau mandapatkan rahmat Allah, dan Dia menjaga beliau dari wanita tersebut. Yaitu di dalam firmanNya:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [(Yusuf: 34].

Maka demikian pula jika terjadi ikhthilath (percampuran) orang-orang laki-laki dengan para wanita, setiap mereka akan memilih pasangan yang dia sukai, dan setelah itu akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkannya.

2. Allah memerintahkan para laki-laki dan para wanita untuk menahan pandangan, Dia berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka". [An-Nur: 30-31]

Sisi pengambilan dalil dua ayat di atas: bahwa Allah memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menahan pandangan, sedangkan perintah Allah menunjukkan wajib, kemudian Allah Ta’ala menjelaskan bahwa itu lebih suci dan lebih bersih. Pembuat syari’at tidak memaafkan (dari pandangan itu) kecuali pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja). Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Al-Mustadrak dari Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

"Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama, yang tidak disengaja- pen) dengan pandangan (kedua, yang disengaja-Red), karena sesungguhnya engkau berhak pada pandangan pertama, tetapi tidak berhak pada pandangan yang akhir" [1].

Setelah meriwayatkannya Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Adz-Dzahabi menyetujuinya di dalam Talkhisnya. Dan ada banyak hadits yang semakna dengan ini.

Dan tidaklah Allah memerintahkan untuk menahan pandangan kecuali karena memandang orang yang terlarang untuk dipandang merupakan zina (mata- pen). Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا

"Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan dengan seksama, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah menyergap/menangkap, dan kaki zinanya adalah melangkah". [Mutafaq ‘alaih, lafazhnya bagi Muslim]

Memandang adalah zina, karena orang itu bersenang-senang dengan memandang kecantikan wanita, dan hal itu akan membawa wanita itu memasuki hati orang yang memandangnya, sehingga akan terikat di dalam hatinya. Sehingga dia akan berusaha melakukan kekejian (zina) dengannya. Maka jika Pembuat syari’at melarang memandang kepada wanita karena hal itu akan membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakan itu juga akan terjadi di dalam ikhthilath. Oleh karena itulah ikhthilath terlarang, karena merupakan sarana menuju apa yang tidak terpuji akibatnya, yaitu bersenang-senang dengan memandang dan berusaha melakukan apa yang lebih buruk dari itu.

3. Dalil-dalil yang telah disebutkan yaitu bahwa “wanita adalah aurat” [2] dan wajib atasnya untuk menutupi seluruh tubuhnya, karena menampakkan tubuhnya atau sebagiannya menyebabkan untuk dilihat, sedangkan melihatnya akan menyebabkan hati terikat kepada wanita itu, kemudian berbagai cara akan ditempuh untuk mendapatkannya. Demikian juga ikhthilath.

4. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan". [An-Nur:31]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mencegah wanita menghentakkan kakinya,-walaupun hal itu pada asalnya boleh- agar jangan menjadi sebab para laki-laki mendengar suara gelang kaki wanita, sehingga akan membangkitkan pendorong-pendorong syahwat laki-laki kepada wanita. Demikian juga ikhthilath dilarang karena bisa membawa kepada kerusakan.

5. Firman Allah Ta’ala:

يَعْلَمُ خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati". [Al-Ghafir/Al-Mukmin:19]

Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan: "Dia adalah seorang laki-laki yang masuk ke rumah anggota keluarganya, di antara mereka ada seorang wanita yang cantik, -atau ada seorang wanita yang cantik yang melewati mereka-. Jika anggota keluarga itu tidak memperhatikannya, dia memandang wanita tersebut. Jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya dari wanita itu. Jika mereka tidak memperhatikannya, dia memandangnya, jika mereka memperhatikannya, dia menundukkan pandangan matanya. Dan Allah mengetahui hatinya, yaitu bahwa dia ingin melihat kemaluan wanita itu, dan jika mampu menguasai wanita itu, dia akan menzinainya."[3].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala mensifati mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang, sebagai (mata yang) khianat. Maka bagaimana dengan ikhthilath?

6. Bahwa Allah memerintahkan para wanita untuk menetap di dalam rumah mereka, Dia berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu". [Al-Ahzab:33]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Allah Ta’ala memerintahkan istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, wanita-wanita yang suci dan disucikan, untuk menetap di dalam rumah-rumah mereka. Dan perkataan Allah ini umum meliputi seluruh wanita muslimin yang lain, berdasarkan apa yang telah tetap di dalam ilmu Ushul (fiqih) bahwa perkataan yang disampaikan itu umum kecuali yang ditunjukkan oleh dalil tentang pengkhususannya. Sedangkan di sini tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Maka jika para wanita itu diperintahkan untuk menetap di dalam rumah, kecuali jika kebutuhan mengharuskan mereka untuk keluar, kemudian bagaimana dibolehkan ikhthilath seperti yang telah disebutkan di atas? Padahal di zaman ini banyak sikap-sikap wanita yang melewati batas, tidak punya rasa malu, mengikuti hawa-nafsu dengan menampakkan perhiasan dan mempertontonkan wajah di hadapan orang-orang laki-laki asing serta bertelanjang di dekat mereka, dan tidak ada orang yang mencegah, baik oleh suami-suami mereka atau lainnya, terhadap orang yang sudah jauh dalam urusan itu.

ADAPUN DALIL DARI SUNNAH
Kami akan mencukupkan dengan menyebutkan 10 dalil:
1. Imam Ahmad meriwayatkan:

عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

"Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma, bahwa dia mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersamamu”. Beliau bersabda: “Aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, tetapi shalatmu di dalam rumahmu (yang paling dalam) lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu. Dan shalatmu di dalam kamarmu, lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar). Dan shalatmu di dalam rumahmu (yang tengah/luar), lebih baik daripada shalatmu di masjid kaum-mu. Dan shalatmu di masjid kaum-mu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku".

Perawi berkata: “Maka Ummu Humaid memerintahkan, lalu dibangunlah masjid (yakni tempat untuk shalat-Red) untuknya di ujung rumah di antara rumah-rumahnya, dan yang paling gelap, demi Allah, dia biasa shalat di sana sampai meninggal.

Dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ إِلَي اللَّهِ فِي أَشَدِ مَكَانٍ مِنْ بَيْتِهَا ظُلْمَةً

"Sesungguhnya shalat wanita yang paling dicintai oleh Allah adalah (yang dilakukan) di tempat paling gelap di dalam rumahnya".

Ada beberapa hadits yang semakna dengan dua hadits ini yang menunjukkan bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama dari shalatnya di dalam masjid.

Sisi pengambilan dalil: yaitu bahwa jika disyari’atkan bagi wanita untuk shalat di dalam rumahnya, dan bahwa hal itu lebih utama, sampaipun dari shalat di dalam masjid Rasulullah n dan bersama beliau, maka jika ikhthilath itu dilarang, itu termasuk perkara yang lebih utama (untuk dilarang).

2. Apa yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih”].

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah men syari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki).[4]. Kemudian beliau menyebutkan keburukan pada shaf pertama wanita , dan menyebutkan kebaikan pada shaf yang terakhir. Hal itu hanyalah karena jauhnya wanita -wanita pada shaf terakhir dari laki-laki, dari ikhthilath dengan laki-laki, dan dari melihat laki-laki, serta jauh dari terikatnya hati mereka terhadap laki-laki ketika melihat gerakan dan mendengar suara laki-laki. Dan beliau mencela shaf yang pertama karena terjadinya sebalik dari perkara-perkara di atas. Dan beliau menyebutkan keburukan pada shaf laki-laki yang terakhir apabila ada wanita-wanita shalat bersama mereka di dalam masjid, karena mereka tidak mendapatkan tempat depan dan dekat imam, juga karena dekatnya terhadap para wanita yang menyibukkan fikiran, yang bisa jadi merusakkan ibadah, mengacaukan niat dan kekusyu’an. Maka jika Pembuat agama mengantisipasi terjadinya hal itu di dalam tempat-tempat ibadah, padahal itu tidak terjadi ikhthilath, maka terjadinya hal itu jika terjadi ikhthilath tentulah lebih mungkin. Maka dilarangnya ikhthilat itu merupakan hal yang lebih utama.

3. Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, dari Zainab istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda kepada kami (para wanita):

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

"Jika salah seorang dari kamu menghadiri masjid, maka janganlah memakai minyak wangi".

Dan Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya, Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i di dalam Musnad keduanya, dengan sanad mereka, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

"Janganlah kamu melarang hamba-hamba perempuan Allah (keluar ke) masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai minyak wangi".

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil diharamkannya memakai minyak wangi bagi wanita yang ingin keluar menuju masjid, karena hal itu akan menggerakkan kebutuhan dan syahwat laki-laki, dan kemungkinan juga akan menjadi sebab yang menggerakkan syahwat wanita”. Dia juga berkata: “Dihukumi sama dengan minyak wangi ini apa yang semakna dengannya, seperti (memakai) baju dan perhiasan yang indah yang dampaknya nyata, dan bentuknya yang mewah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Demikian pula ikhthilath dengan orang-orang laki-laki.” Al-Khathabi berkata di dalam Ma’alimus Sunan: “At-Tafal [5] artinya bau tidak sedap. Dikatakan wanita tafilah, jika dia tidak memakai minyak wangi. Dan dikatakan wanita-wanita tafilaat, (jika mereka tidak memakai minyak wangi).”

4. Usamah bin Zaid meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

"Tidaklah aku tinggalkan fitnah (ujian; yang menyebabkan kesesatan) setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita". [HR. Bukhari dan Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah n telah menyatakan para wanita sebagai fitnah, maka bagaimana dikumpulkan antara (wanita) yang membuat fitnah dengan (laki-laki) yang terkena sasaran fitnah? Ini tidak boleh.

5. Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu penguasa di dunia, kemudian Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat, maka berhati-hatilah kamu terhadap dunia, dan berhati-hatilah kamu terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah (kesesatan) pertama kali di kalangan Bani Isra’il dalam perkara wanita". [HR. Muslim]

Sisi pengambilan dalil: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berhati-hatilah terhadap wanita, dan perintah beliau itu hukumnya wajib. Maka bagaimana mungkin perintah beliau tersebut dilaksanakan bersamaan dengan (dilakukan) ikhthilath?! Ini tidak boleh.

6. Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan, dan Bukhari di dalam Al-Kuna, dengan sanad keduanya dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshari, dari bapaknya Radhiyallahu 'anhu :

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ

"Bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. [Ini lafazh Abu Dawud].

Ibnul Atsir berkata di dalam An-Nihayah Fi Gharibil Hadits: “yuhaqqiqna ath-thariq” maknanya berjalan di haqnya, yaitu di tengahnya.

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melarang para wanita ikhthilath di jalan karena hal itu akan menyeret kepada fitnah (kemaksiatan; kesesatan), maka bagaimana dikatakan boleh ikhthilath pada selain itu.

7. Abu Dawud Ath-Thayalisi meriwayatkan di dalam Sunannya, dan lainnya, dari Nafi’ , dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma :

أَنُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَنَي الْمَسْجِدَ جَعَلَ بَابًا لِلنِّسَاءِ وَ قَالَ: لاَ يَلِجُ مِنْ هَذَا الْبَابِ مِنَ الرِّجَالُ أَحَدٌ

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membangun masjid, beliau membuat pintu (khusus) untuk wanita, dan dia berkata: “Tidak boleh seorangpun laki-laki masuk dari pintu ini".

Bukhari telah meriwayatkan di dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu 'anhuma, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَدْخُلُوْا الْمَسْجِدَ مِنْ بَابٍ النِّسَاءِ

"Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath orang-orang laki-laki dan para wanita di pintu-pintu masjid, sewaktu masuk ataupun keluar. Dan beliau mencegah sumber kebersamaan laki-laki dan wanita di pintu-pintu masjid untuk menutup jalan/sarana ikhthilath. Maka jika ikhthilath dilarang dalam keadaan ini, maka terlebih lagi pada keadaan lainnya.

8. Imam Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ (مِنْ صَلاَتِهِ) قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَمَكَثَ فِي مَكَانِهِ يَسِيرًا

"Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai salam dari shalatnya, para wanita bangkit ketika beliau selesai salamnya, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap di tempatnya sebentar".

Pada riwayat kedua pada Imam Bukhari:

كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Beliau selesai salam, lalu para wanita berpaling kemudian masuk rumah mereka sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling".

Pada riwayat ketiga:

كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مَنْ صَلَّي مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ

"Kebiasan para wanita ketika selesai salam dari shalat wajib, mereka bangkit, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang laki-laki yang shalat bersama beliau tetap di tempat mereka –masya Allah- . Kemudian apabila Rasulullah n bangkit, orang-orang laki-laki juga bangkit".

Sisi pengambilan dalil: bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mencegah ikhthilath dengan perbuatan beliau, maka ini merupakan peringatan dilarangnya ikhthilath pada tempat selain ini.

9 dan 10. Ath-Thabarani meriwayatkan di dalam Mu’jamul Kabir dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

َلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya".

Al-Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawaid: “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih”. Al-Mundziri berkata di dalam At-Targhib Wat Tarhib: “Para perawinya terpercaya”.

Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda:

لأَنْ يَزْحَمَ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِخًا بِطِيْنٍ وَ حَمَأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Sungguh jika seorang laki-laki berdesakkan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik daripada pundaknya berdesakkan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya".

Sisi pengambilan dalil dari kedua hadits di atas: bahwa Rasulullah n mencegah persentuhan laki-laki dengan wanita dengan pelapis atau tanpa pelapis jika bukan mahramnya, karena hal itu akan membawa dampak yang buruk. Demikian pula ikhthilath dilarang karena hal itu.

Maka barangsiapa yang memperhatikan dalil-dalil yang telah kami sebutkan niscaya akan jelas baginya bahwa menerima anggapan “ikhthilath itu tidak akan membawa fitnah (kemaksiatan; kesesatan)”, itu hanyalah menurut persepsi sebagian orang saja. Padahal sebenarnya hal itu akan membawa kepada fitnah, oleh karena inilah Pembuat syari’at mencegahnya untuk menutup sumber kerusakan.

Tetapi tidak termasuk ikhthilath yang terlarang, perkara-perkara yang kebutuhan mengharuskannya dan yang sangat diperlukan, dan terjadi di tempat-tempat ibadah, sebagaimana yang terjadi di tanah suci Makkah dan tanah suci Madinah. Kami mohon kepada Allah Ta’ala agar menunjuki kaum muslimin yang tersesat, dan agar menambah petunjuk kepada kaum muslimin yang telah mendapatkan petunjuk, dan agar Dia memberikan taufiq kepada para penguasa kaum muslimin untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, serta membimbing tangan orang-orang yang bodoh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Dekat, dan shalawat Allah mudah-mudahan diberikan kepada Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Fatwa no: 118, tanggal: 14-5-1388) [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, tartib: Abu Muahmmad Asyraf bin Abdul Maqshud, II/561, hal: 561-569, Maktabah Adh-waus Salaf, Cet:I, Th: 1419 H].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:7952- pen
[2]. [HSR. Tirmidzi. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:6690- pen
[3]. Sebagaimana di dalam Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut, tetapi tanpa perkataan: “dan jika mampu menguasai wanita itu, dia akan menzinainya.”- pen
[4]. Yakni para wanita berbaris di belakang shaf laki-laki; dengan tidak bercampur dengan mereka-pen
[5]. Perkataan dalam hadits di atas yang kami terjemahkan dengan: tidak memakai minyak wangi- pen] source : http://www.almanhaj.or.id/content/2844/slash/0

Dimanakah Al-Mu'tasim Hari Ini - Arrahmah.com

Dimanakah Al-Mu'tasim Hari Ini - Arrahmah.com
Dahulu, di masa keemasan Islam, ada seorang teladan abadi sepanjang masa. Dia adalah khalifah al-Mu'tasim, khalifah Bani Abbasiyah (833-842 Masehi). Dialah yang menyambut seruan seorang muslimah yang dilecehkan tentara Romawi dengan mengirimkan pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah dan melibas seluruh tentara kafir Romawi di sana hingga bebaslah sang muslimah tadi dari tawanan Romawi. Kini, ketika ribuan muslimah dan muslim ditawan tentara-tentara kafir, dimanakah Al-Mu'tasim hari ini?
Teladan Heroik Pejuang Muslim
Kisah heroik Al-Mu'tashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, dalam judul Penaklukan kota Ammuriah.
Ketika itu, al-Mu'tasim, khalifah di masa Bani Abbasiyah, sedang memegas gelas untuk minum ketika didengarnya seorang muslimah dilecehkan oleh tentara Romawi. Khalifah pun langsung berseru kepada panglima perangnya agar bersiap menuju Ammuriah, tempat dimana muslimah tersebut berteriak meminta tolong.
Konon, muslimah itu keturunan Bani Hashim dan sedang berbelanja di sebuah pasar di kawasan negeri di bawah kekuasaan Romawi, di utara benua Asia, yakni tepatnya di kota Ammuriah, kawasan Turki hari ini. Di saat sedang berjalan itulah, sang muslimah diganggu oleh seorang lelaki Romawi dengan menyentuh ujung jilbabnya hingga dia secara spontan berteriak : "Wa Mu'tashamah....!!!" Yang juga berarti "Dimana kau Mu'tasim...Tolonglah Aku"
Teriakan muslimah tersebut akhirnya sampai ke telinga Khalifah al-Mu'tasim. Puluhan ribu tentara pun digelar mulai dari gerbang ibukota di Baghdad hingga ujungnya mencapai kota Ammuriah. Pembelaan kepada muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Ammuriah dari jajahan Romawi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara Muslim bergerak di bulan April, 833 Masehi dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu'tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi.
Hanya seorang Muslimah yang dilecehkan kafir Romawi dan berteriak 'Wahai Mu'tasim" maka sang khalifah tersentuh hatinya dan terbakar ghiroh Islamnya sehingga dilancarkanlah serangan penaklukan ke Ammuriah hingga sang Muslimah akhirnya bisa dibebaskan. Allahu Akbar!
Sejak Dahulu Kaum Muslimin Wajib Dibela!
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, dikisahkan ada seorang tukang emas Yahudi Bani Qainuqa menganiaya kehormatan seorang Muslimah dengan mengikat pinggir bajunya sehingga menyebabkan tubuhnya tersingkap. Saat itu, seorang pria Muslim kebetulan berada di sana dan membunuh orang Yahudi itu. Kemudian orang-orang Yahudi membalas dengan membunuh orang muslim itu. Keluarga pria itu memanggil kaum Muslimin untuk membantu dan Nabi SAW., mengirimkan pasukan melawan mereka dan setelah 15 hari pengepungan seluruh suku Bani Qainuqa diusir dari Madinah. Subhanallah!
Di masa Khalifah Umar bin Abdul-Aziz, beliau pernah mengirim surat kepada para tahanan perang Muslim di Konstantinopel. Beliau mengatakan kepada mereka:
"Kamu menganggap dirimu sebagai tahanan perang. Padahal kamu bukan tahanan perang. Kamu terkunci di jalan Allah. Aku ingin kamu tahu bahwa setiap kali aku memberikan sesuatu kepada kaum Muslim, aku memberikan lebih banyak untuk keluarga kamu dan aku mengirimkan sekitar 5 dinar untuk setiap salah satu dari kamu dan seandainya bukan karena aku takut bahwa diktator Romawi akan mengambilnya dari kalian, aku akan mengirimkan lebih. Aku juga telah mengirim banyak untuk menjamin pembebasan setiap salah satu dari kalian tanpa memikirkan berapa biayanya. Jadi bersukacitalah! Assalamu Alaikum. "
Dimanakah Al-Mu'tasim Hari Ini?
Kini, berapa banyak Muslimah yang dilecehkan kehormatannya oleh kuffar ? Berapa banyak Muslimah yang berteriak meminta tolong dari kedzoliman yang dideritanya? Berapa banyak kaum Muslimin yang ditawan pemerintahan kafir maupun pemerintahan murtad ? Bukankah sudah terdengar teriakan mereka dari penjara di Guantanamo (Cuba), Abu Gharib (Irak), Bagram (Afghanistan), Gaza (Palestina) Nusa Kambangan (Indonesia), dan penjara-penjara Amerika dan Inggris di seluruh dunia. Dimanakah Al-Mu'tasim hari ini?
Bukankah saudari Muslimah kita Afia Siddiqui sudah berteriak meminta pertolongan dari penjara pemerintahan Pakistan? Juga saudara Muslimah kita, Putri Munawaroh berteriak meminta pertolongan dari kedzoliman penjara Mako Brimob?
Bukankah Rasulullah SAW., bersabda,
"Berikanlah makan pada seseorang yang merasa lapar, kunjungilah seseorang yang sakit dan bebaskanlah seseorang yang ditawan."
Beliau SAW., juga bersabda,
"Adalah sebuah kewajiban bagi Muslim dari harta mereka untuk membebaskan orang-orang yang berada dalam tahanan dan membayar tebusan."
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
"Jika mereka menahan seorang Muslim, adalah sebuah kewajiban kita untuk tetap memerangi mereka sampai mereka membebaskan mereka atau mereka di musnahkan,"
dan dia juga berkata,
"Membebaskan Muslim dari tahanan adalah salah satu kewajiban yang besar dan membelanjakan kekayaan untuk membebaskan mereka adalah salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah yang paling baik."
Sahabat Umar Ibnu Khattab RA berkata,
"Bagiku membebaskan seorang Muslim yang berada ditangan Musyirikin lebih aku sukai daripada seluruh Jazirah Arab." (Shahih Shahabi Jilid. 3).
Sejarah Islam telah menorehkan dengan tinta emas kisah-kisah heroik dan tauladan abadi dari mereka-mereka yang membela kehormatan kaum Muslimin yang ditawan musuhnya. Khalifah al-Mu'tasim adalah salah satu contoh yang paling fenomenal dalam menanggapi panggilan seorang Muslimah yang didzolimi kaum kafir. Kini, kaum Muslimin di pelbagai penjuru dunia banyak dilecehkan dan ditawan di banyak penjara kaum kuffar. Lalu, dimanakah al-Mutasim hari ini?
Wallahu'alam bis showab!


Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/9003/dimanakah-al-mutasim-hari-ini#ixzz149Tv5o4p

Gambaran Umat Muhammad Saw

Seperti apakah gambaran umat Muhammad Saw itu ? Benarkah kita layak disebut sebagai umat muhammad? Apa saja ciri-ciri dari umat Muhammad Saw? Bukankah Islam nantinya akan terpecah belah menjadi 73 golongan ? Termasuk golongan yang manakah kita ?Apa sebenarnya peran umat Islam dalam kehidupan ini ?
Istilah umat didefenisikan sebagai:
مجموعات بشرية تربطها عقيدة واحدة
"Sekelompok orang yang terikat secara bersamaan dengan kesamaan aqidah."
Selanjutnya, istilah umat tidak untuk orang-orang yang mempunyai kesamaan ras atau warna kulit; umat hanya untuk orang-orang yang dipersatukan dengan aqidah dan jalan hidup mereka saja. Istilah ini tidak cocok jika didefenisikan sebagai "negara", karena sebuah negara adalah sekelompok besar orang-orang yang tinggal pada sebuah daerah atau wilayah tertentu. (sebuah umat bisa eksis tanpa hidup di sebuah negara).
Allah swt. telah mengkategorikan manusia menjadi 2 kelompok:
  1. Al-Umatul-Islaamiyah (Umat Islam)
  2. Al-Umatul-Kafiraah (Ummat yang tidak beriman)
Lebih lanjut, hanya ada dua camp (kelompok) ; setiap orang (tidak kecuali) apakah seorang Muslim atau Kafir. Yahudi, Nasrani, Sikh, Hindu, Budha semuanya adalah al-Umatul-Kafirah; dengan kata lain, mereka semua tidak beriman kepada Allah.
 Allah swt. berfirman:
"Dia-lah yang menciptakan kamu maka diantara kamu ada yang kafir dan diantaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS at Thaghaabun, 64: 2)
Sebagai tambahan, umat Islam terpecah menjadi dua:
  1. Umatu Muhammad (Umat Muhammad, atau Ahmad - juga dikenal sebagai al-Firqatun Najiyah, atau golongan yang selamat).
  1. Umatu Ahlul Qiblah (Umat Qiblah, dari tujuh puluh dua golongan yang menyimpang - juga dikenal sebagai al-Firqatul Haarikah,)
Tujuh puluh dua golongan dari umat Islam akan masuk neraka (tidak selamanya, masanya hanya Allah yang mengetahui), dan satu golongan akan masuk surga. Dengan konsekuensi jika mereka ingin selamat dari api neraka, maka mereka harus mencari pengetahuan tentang golongan yang selamat dan mempelajari serta mengamalkan karateristik  mereka.
Peranan Umat
Peran umat Islam adalah menerapkan hujjah (menjadi saksi) untuk orang-orang, jadi bahwa mereka bisa tidak ada keringanan - atas orang-orang yang tidak beriman - pada hari pengadilan nanti pada saat mereka bertemu dengan Tuhan mereka yang sesungguhnya. Ini hanya bisa terpenuhi dengan iqaamatud dien, atau menerapkan dien Allah (yaitu syari'ah) - bukan dien Kuffar, seperti demokrasi atau kebebasan. Allah swt. berfirman:
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS Asy Syura 42: 13)
 Atribut atau karateristik dari umat Muhammad saw.
Allah swt. Berfirman :
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS Al Fath 48: 29)
Pada ayat di atas, Allah swt. berfirman menginformasikan kepada kita tetang atribut dan kualitas Muhammad dan "Orang-orang yang bersama mereka" - yang menunjuk para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan tepat. Atribut ini adalah:
  1. Asyidda'u 'alal Kuffar
Seseorang tidaklah menjadi bagian dari umat Muhammad kecuali dia "memerangi Kuffar". Selanjutnya, tindakan ini harus disalurkan secara wajar (sesuai syar'i). Akronim (singkatan) KSK bisa membantu kita untuk mengingat sikap kita, yakni : K-Kerjasama, kita bisa bekerjasama dengan orang kafir pada saat kita di bawah perjanjian (damai) dengan mereka, S-Sabar, pada saat kita berbicara tentang dien (Islam) kepada mereka (berdakwah) dan K-Kasar (keras) pada saat kita memerangi mereka di medan jihad.
  1. Ruhamaa'u bainahum
Sesuatu hal yang tidak mungkin bagi seseorang yang menjadi umat Muhammad kecuali dia menunjukkan kasih sayang dan kemurahan hati kepada sesesama orang Mukmin, walaupun jika mereka (orang muslim yang taat) disebut orang gila, ekstrimis, teroris, penyebar kebencian atau fundamentalis. Kemurahan hati ini adalah manifestasi dari:
-          Al-Ukhuwah (Persaudaraan)
-          Al Muwaalaat (Persekutuan)
-          At Ta'aatuf (Kebaikan)
Pada saat ini, adalah sebuah kondisi yang sangat menyedihkan apabila kita melihat betapa banyak orang-orang dari Ahlul Qiblah yang bingung dari poin ini dan juga melakukan hal-hal yang benar-benar terbalik. Sepertinya mereka lebih suka membenci kaum Muslimin yang sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah serta bersekutu dengan orang-orang yang tidak beriman. (Dengan demikian, mereka tidak bisa menjadi umat Muhammad!)
  1. Taraahum rukka'an sujjudan
Umat Muhammad adalah sebuah Umat yang patuh yang selalu ruku' dan sujud yaitu menyembah Allah. Mereka bukanlah orang-orang sekuler. Mereka tidak menyembah Allah hanya dalam masjid saja atau pada saat Ramadhan saja, tetapi mereka menyembah Allah dua puluh empat jam dalam sehari - bahkan tidur mereka adalah 'ibaadah.
  1. Yabtaghuna fadlan minallahi wa-ridwaana
Mereka mencari "Ridha Allah". Umat Muhammad tidak mencari pujian, simpatik, kehormatan atau ridha dari manusia. Mereka hanya mencari kepuasan dan keridhoan Allah Swt. Dengan konsekuensi, mereka akan memerangi dan mendominasi atas sekutu-sekutu setan. Mereka akan menaungi segalanya, dan Allah menjaga apa yang ada dalam hati mereka.
Kesimpulan
Jika kita ingin menjadi Umat Muhammad (golongan yang selamat) kita karus mempunyai aqidah yang sama sebagaimana Rasulullah saw. yang mempunyai empat atribut atau karakter yang telah di jelaskan di atas. Tidaklah cukup hanya dengan mempunyai aqidah yang benar tetapi tidak mempunyai atribut-atribut ini-kita harus mempunyai aqidah yang benar juga atribut umat Muhammad secara bersamaan.
Source : almuhajirun.net


Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/7056/gambaran-umat-muhammad-saw#ixzz149SQP7xe