Sabtu, 31 Agustus 2013

Cara Untuk Bermaksiat


Seorang laki-laki menghadap Ibrahim bin Adham. Beliau termasuk salah satu dokter hati. Lelaki tersebut berkata kepadanya, “Sungguh, saya telah menjerumuskan diri saya dalam kemaksiatan. Oleh karena itu, tolong berikan saya resep untuk mencegahnya.” Ibrahim bin Adham berkata kepadanya, “Jika engkau mampu melakukan lima hal, engkau tidak akan menjadi ahli maksiat.” Lelaki tersebut berkata – Dia sangat penasaran untuk mendengarkan nasihatnya, “Tolong ungkapkan apa yang ada di benak Anda wahai Ibrahim bin Adham!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Pertama, ketika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah engkau makan sedikit pun dari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Lelaki tersebut heran kemudian dia bertanya, “bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim. Padahal semua rezeki berasal dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Ibrahim berkata, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau makan rezeki-Nya padahal engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang kedua, wahai Ibrahim!”
“Kedua, jika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka janganlah engkau tinggal di bumi-Nya.” Lelaki tersebut terheran-heran melebihi yang pertama, kemudian dia berkata, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal setiap bagian bumi ini milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Ibrahim menjelaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau tinggal di bumi-Nya padahal engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang ketiga, wahai Ibrahim!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka carilah tempat di  mana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dapat melihatmu, lalu berbuatlah maksiat di tempat itu!” Lelaki tersebut berkata, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal Allah Maha Mengetahui hal-hal rahasia (Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi). Dia dapat mendengar merayapnya semut pada batu besar yang keras di malam yang gelap.” Ibrahim menjelaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, maka apakah pantas engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” Lelaki tersebut menjawab, “Tentu tidak pantas. Lalu apa yang keempat, wahai Ibrahim!”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Keempat, jika malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu, maka katakanlh padanya, ‘Tundalah kematianku sampai waktu tertentu!’ Lelaki tersebut bertanya, “Bagaimana Anda bisa mengatakan hal tersebut wahai Ibrahim? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. Al-Araf: 34)
Ibrahim bin Adham menjeaskan kepadanya, “Jika engkau telah menyadari hal itu, lantas mengapa engkau masih mengharap keselamatan?” Dia menjawab, “Iya. Lalu apa yang kelima wahai Ibrahim?”
Ibrahim bin Adham berkata,
“Kelima, apabila malaikat Zabaniyah – mereka adalah malaikat penjaga – mendatangimu untuk menyeretmu ke neraka Jahannam, maka janganlah engkau ikut mereka. Belum sampai lelaki ini mendengarkan nasihat yang kelima, dia berkata sambil menangis, “Cukup, Ibrahim. Saya memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya. Akhirnya dia senantiasa beribadah sampai meninggal dunia.”

Source :  http://muslimahzone.com/cara-untuk-bermaksiat/

Jumat, 30 Agustus 2013

Wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Tentang Wanita


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,....” [Ar-Ruum/30: 21]

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan isteri sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah yang harus dijaga. Ia adalah salah satu nikmat-Nya yang wajib disyukuri, sebagaimana yang diperintahkan-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mengikuti perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dalam firman-Nya:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“... Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya)...” [An-Nisaa’/4: 59]

Dan di antara perintah yang sangat beliau tegaskan dan sering beliau sebut-sebut ialah hak wanita yang lemah ini. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengetahui haknya atas kita dan menunai-kan hak tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna.

Saudaraku yang tercinta, dengarlah akan hak-hak isterimu, sehingga engkau bersyukur kepada Allah atas nikmat ini serta meng-ikuti perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan hal itu, juga agar engkau tidak menzhaliminya, karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat.

1. WASIAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TENTANG WANITA
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita."[1]

Al-Bukhari meriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَـا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا، وَفِيْهَا عِوَجٌ.

"Wanita itu seperti tulang rusuk; jika engkau luruskan (tegak-kan), engkau mematahkannya, dan jika engkau bersenang-senang dengannya, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan di dalamnya ada kebengkokan."[2]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallah anhu, ia mengatakan: "Kami takut berbicara dan bersenda gurau dengan wanita-wanita (isteri) kami pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena khawatir akan turun suatu ayat kepada kami. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, kami pun bercakap-cakap dan bersenda gurau."[3]

Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمِ وَالْمَرْأَةِ.

"Sesungguhnya aku mengkhawatirkan hak dua orang yang lemah atas kalian: anak yatim dan wanita."[4]

Al-Hakim meriwayatkan dari Samurah Radhiyallahua anhu secara marfu’:

خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِـنْ ضِلَعٍ، فَإِنْ تُقِمْهَا تُكْسِرْهَـا فَدَارِهَا، تَعِشْ بِهَا.

"Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; jika kamu meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadapnya, maka kamu akan dapat hidup bersamanya."[5]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Hadits ini berisi anjuran agar berlemah lembut untuk melunakkan hati. Hadits ini pun berisi cara memimpin wanita, yaitu dengan cara memaafkan mereka dan bersabar terhadap kebengkokan mereka. Dan siapa yang ingin meluruskan mereka, berarti mengambil manfaat (adanya) mereka. Karena setiap manusia membutuhkan wanita; ia merasa tenteram kepadanya dan menjadikannya sebagai penopang kehidupannya. Seolah-olah beliau mengatakan: ‘Mengambil manfaat mereka tidak akan tercapai kecuali dengan bersabar terhadapnya.’”[6]

Bahkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan terhadap mereka di akhir kehidupannya, dan hal itu pada haji Wada’.

Sebagaimana at-Tirmidzi meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَـاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ -أَيْ أسِيْرَاتٍ- لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ، إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَـاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَـاهْجُرُوْهُنَّ فِـي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْاهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقَّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فِيْ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ.

"Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka itu (bagaikan) tawanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa terhadap mereka sedikit pun selain itu, kecuali bila mereka melakukan perbuatan nista. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika ia mentaati kalian, maka janganlah berbuat aniaya terhadap mereka. Mereka pun tidak boleh memasukkan siapa yang tidak kalian sukai ke tempat tidur dan rumah kalian. Ketahui-lah bahwa hak mereka atas kalian adalah kalian berbuat baik kepada mereka (dengan mencukupi) pakaian dan makanan mereka."[7]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Makna عَـوَانٌ (dalam hadits di atas) adalah أَسِيْرَاتٌ (tawanan). Kaum wanita diserupakan sebagai tawanan di sisi kaum pria, karena kaum pria memerintah dan berkuasa atas mereka."[8]

Dalam riwayat Muslim:

اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ.

"Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf."[9]

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.

‘Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak menyukai satu akhlak darinya, maka ia menyukai yang lainnya.’”[10]

2. DIHARAMKAN MENYEBARKAN RAHASIANYA.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، اَلرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

‘Manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang 'mendatangi' isterinya, dan wanita itu pun 'mendatangi' suaminya, kemudian ia (laki-laki itu) menyebarkan rahasia isterinya.’”[11]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini berisi pengharaman laki-laki menyebarkan apa yang berlangsung antara dirinya dengan isterinya, misalnya tentang hubungan suami isteri dan menyifati hal itu secara detil serta apa yang berlangsung pada diri wanita, baik ucapan, perbuatan maupun sejenisnya pada saat berhubungan. Adapun sekedar menyebut hubungan badan, jika tidak ada faidah di dalamnya dan tidak dibutuhkan, maka hal itu makruh, karena bertentangan dengan etika yang baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia berkata dengan perkataan yang baik atau diam.”[12]

3. DI ANTARA HAKNYA IALAH, ENGKAU MENGIZINKANNYA KELUAR UNTUK KEBUTUHANNYA YANG MENDESAK.
Kaum wanita pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cadar, dan mereka keluar untuk keperluan mereka, seperti pergi untuk buang hajat sebelum WC dibuat di dalam rumah, atau pergi untuk keperluan yang mendesak. Tidak sebagaimana kaum wanita pada hari ini, mereka keluar, baik untuk suatu keperluan maupun tidak, dengan bersolek, berhias dan memakai parfum.

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Saudah binti Zam’ah keluar pada suatu malam, lalu ‘Umar melihat-nya dan mengenalinya seraya mengatakan: ‘Wahai Saudah, demi Allah, engkau tidak dapat menyembunyikan dirimu dariku.’ Maka ia pun kembali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyebutkan hal itu kepada beliau, pada saat itu beliau berada di rumahku sedang makan malam dan tangan beliau sedang memegang tulang yang masih terdapat sisa daging padanya. Kemudian wahyu diturunkan kepada beliau, lalu (hidangan) diangkat dari beliau, seraya bersabda:

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ.

‘Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar untuk keperluan (hajat) kalian.’

Hisyam bin ‘Urwah berkata: ‘Maksudnya adalah buang hajat, yaitu buang air besar.’”[13]

Dalam riwayat Muslim: ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang hijab."

Yang menyebabkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu melakukan hal itu karena dia menginginkan turunnya wahyu mengenai hijab. Dan ternyata, turunnya ayat hijab menyelarasi pendapat ‘Umar bin al-Khaththab.

Tetapi, keluarnya wanita dari rumahnya harus disertai beberapa syarat, yaitu:

a. Komitmen dengan hijab syar’i yang dapat menutupi tubuh wanita dan wajahnya, serta tidak berdandan dengan pakaian yang berwarna-warni, dan (hendaknya) memakai pakaian yang longgar.

b. Tidak berbaur dengan kaum pria.

c. Tidak memakai parfum. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita melakukan hal itu, berarti dia adalah seorang yang demikian dan demikian, maksudnya pezina.

Jika wanita tidak komitmen dengan hal itu, dan keluarnya itu untuk kepentingan yang mendesak, maka dia tidak boleh keluar dari rumahnya tanpa memenuhi syarat yang kami sebutkan tadi.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5185) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 60) kitab ar-Radhaa’, (II/1091).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5184) kitab an-Nikaah, Muslim, no. 1468 kitab ar-Radhaa’.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5187) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah, (no. 1632) kitab Maa Jaa-a fil Janaa-iz, Ahmad (no. 5262).
[4]. HR. Ibnu Majah (no. 7678) kitab al-Adab, Ahmad (no. 9374), Ibnu Hibban, (no. 1266), al-Hakim (I/63) dan ia menilainya sebagai hadits shahih sesuai syarat Muslim. Disetujui oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1015).
[5]. HR. Al-Hakim (IV/174), dan ia menilainya shahih sesuai syarat Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hibban (no. 1308), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (III/163.
[6]. Al-Fat-h (IX/163).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 1163), kitab ar-Radhaa’, dan ia menilainya sebagai hadits hasan shahih, Ibnu Majah (no. 185) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 5101) dan al-Irwaa’ (no. 1997).
[8]. Lihat, Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani, hal. 270.
[9]. HR. Muslim (no. 1218) kitab al-Hajj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Muslim (no. 1469) kitab ar-Ridhaa’, Ahmad (no. 8163).
[11]. HR. Muslim (no. 1437) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 4871) kitab al-Adab.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 6018) kitab al-Adab, Muslim (no. 47) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 2500) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wal Waraa’, Abi Dawud (no. 5154) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 3971). Dan lihat, Shahiih Muslim bisy Syarhin Nawawi (V/262).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5237) kitab an-Nikaah, dan (no. 146) kitab al-Wudhuu’, Muslim (no. 2170) kitab as-Salaam.

source : http://almanhaj.or.id/content/2140/slash/0/wasiat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-tentang-wanita/

Rabu, 28 Agustus 2013

Makna di Balik Mahar Seperangkat Alat Sholat



 “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran dibayar tunai!”

Sering kita dengar kata-kata ini ketika menghadiri akad nikah seseorang. Bagi yang beragama Islam, pasti mas kawin berupa peralatan sholat dan mushaf Al-Qur’an sudah menjadi sebuah hal yang umum. Apalagi di negara yang katanya mayoritas Islam ini, mungkin aneh rasanya apabila ada seorang Muslim yang tidak menyertakan 2 mas kawin wajib itu dalam akad nikahnya. Bahkan ketika proses ta’aruf atau ketika sedang memperbincangkan masalah mas kawin yang akan diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pasti yang pertama kali disanggupi adalah seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran. Mengapa demikian? Adakah makna khusus dibalik pemberian dua mas kawin wajib tersebut?
Sangat disayangkan, setelah akad nikah selesai, perlengkapan sholat yang dijadikan sebagai mahar terbungkus rapi di dalam lemari tak pernah tersentuh. Tak jauh beda dengan mushaf Al Quran yang dijadikan mas kawin tersimpan rapi di rak buku dan hampir berdebu. Dua barang yang dijadikan sebuah keniscayaan dalam mas kawin itu hanya menjadi pajangan seusai ijab kabul. Padahal ada makna spesial di balik pemberian perlengkapan sholat dan mushaf Al Quran sebagai mahar.
Ketika seorang mempelai pria mengucapkan “Saya terima nikah dan kawinnya fulanah binti fulan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran”, ada ‘beban’ baru yang dipikulnya. Beban itu adalah sang suami berkewajiban untuk mengajarkan sholat kepada istrinya yang disimboli dengan pemberian seperangkat alat sholat. Suami juga berkewajiban untuk menjaga sholat istrinya dengan terus mengingatkannya dan membimbingnya supaya tidak melewatkan kewajiban yang satu ini. Karena sholat adalah amalan pertama kali yang akan dihisab pada yaumul hisab kelak.
Begitu pula dengan mas kawin berupa mushaf Al Quran. Mungkin bagi sebagian orang dua mahar ini dianggap sebagai mahar yang murah meriah dan mudah didapatkan di negara bermayoritas Muslim ini. Tapi sebenarnya mahar mushaf Al Quran adalah mahar termahal yang diberikan seorang suami kepada istrinya. Mengapa? Karena dengan memberikan mushaf Al Quran, berarti suami wajib untuk mengajarkan istrinya semua isi dari Al Quran yang diberikannya kepada istri dari surat Al Fatihah hingga surat An Naas. Suami berkewajiban untuk mengantarkan istrinya kepada akhlaqul quran. Suami juga berkewajiban untuk membawa keluarganya kepada kehidupan rumah tangga berdasarkan Al Quran dan menjadikan Al Quran sebagai pedoman kehidupan rumah tangganya. Gimana.. mahal banget kan mahar yang satu ini?
Sangat disayangkan ternyata realitas yang ada tidak demikian. Mushaf yang dulunya dibungkus rapi sebagai mahar itu tetap terbungkus rapi dalam plastik bening bergambar hati yang kini tergeletak di dalam buffet. Tak jauh berbeda dengan seperangkat alat sholat yang dulunya dibungkus rapi di dalam keranjang yang dihiasi kertas berwarna-warni kemudian di bungkus dengan plastik bening yang juga bergambar hati itu tersimpan rapi di sebelah mushaf Al Quran. Dan dengan bangganya si empunya barang tersebut memamerkan kepada tamu yang hadir, “Ini lho mahar yang dulu diberikan suami saya!”
Tak jadi masalah apabila mahar yang diberikan itu sengaja disimpan, karena memiliki mushaf dan peralatan sholat lain. Yang jadi masalah adalah ketika, seusai ijab kabul suami masa bodoh dengan janji yang dulu diucapkannya dan tidak mengindahkan ‘beban’ baru yang harus dipikulnya. Seorang suami memiliki kewajiban untuk menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka. 

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…“ (QS At Tahrim: 6)
Adh-Dhahak berkata adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengajarkan keluarganya, kerabatnya, serta hamba sahaya yang dimilikinya apa-apa yang diwajibkan Allah dan apa-apa yang dilarang Allah. (Lihat Tafsir Al Quran Al-’Azhim, Ibnu Katsir)
Dalam kehidupan rumah tangga, tanggung jawab ini diamanahkan kepada suami sebagai imam dalam keluarga. Jadi, buat para istri yang mendapatkan mahar seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran tapi belum diajarkan isi dari Al Quran, jangan ragu untuk menagihnya kepada suami. Sekalian mengingatkan suaminya, amanat yang mungkin terlupakan oleh suami. Dan untuk para suami yang ketika akad nikah memberikan mahar seperangkat alat sholat dan mushaf Al Quran, dan belum memiliki andil dalam menjaga sholat istrinya dan mengajarkan isi Al Quran yang diberikan, hayuu atuh diajarkan istrinya. Biar istrinya makin sholehah, dan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, yang diimpikan bisa tercapai. Lalu buat para calon istri dan suami, mulailah mempersiapkan bekal untuk berlayar dalam bahtera rumah tangga kehidupan.

source :  http://www.fimadani.com/makna-di-balik-mahar-seperangkat-alat-sholat/

Kamis, 22 Agustus 2013

Menikah adalah wajib dalam islam dan inilah janji ALLAH


Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan.

Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya.

Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku…

1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26)

Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin.

2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)

Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”.

Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah – dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya – maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya?

3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)[1][1]

Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang.

4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21)

5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ ”. (Al Mu’min : 60)

Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dst.

Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll.

Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia, pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll. Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dll.

Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst.

Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad).

Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35).

Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim).

6. ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153)

Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah.

7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 – 6)

Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah.

8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)

Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita.

9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40)

10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214)

Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim.

Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah?

Renungan Buat Suami Istri dan Calon Suami Istri


Untuk suami, renungkanlah...!
Pernikahan mengajari kita kewajiban bersama
Istri bagaikan anak kecil dimana kamu tempat bermanjanya
Saat istri menjadi madu, kamu teguklah sepuasnya
Seketika istri menjadi racun, kamulah penawarnya
Seandainya istri menjadi tulang yang bengkok,
berhati - hatilah meluruskannya
Kamu bukanlah Rasulullah SAW
pun bukanlah Sayyidina Ali Kharamallauhuwajhah
Hanya seorang suami akhir zaman
yang berusaha untuk menjadi sholeh

Untuk istri, renungkanlah...!
Pernikahan membuka tabir rahasia
Suami menjadi pelindung dan kamulah penghuninya
Suami adalah nahkoda dan kamulah kemudinya
Saat suami menjadi raja, kamulah singgasana kebahagiaannya
Saat suami menjadi bisa, kamulah penawar obatnya
Kamu bukanlah Khadijah yang begitu sempurna dalam menjaga
pun bukanlah Siti Hadjar yang begitu setia dalam sengsara
Cuma wanita akhir zaman yang berusaha menjadi sholehah

Wahai suami...! 

Kakek berkata, hargai istrimu sebagaimana engkau menghargai ibumu, sebab istrimu juga seorang ibu dari anak-anakmu.Jika marah boleh tidak berbicara dengan istrimu, tapi jangan bertengkar dengannya (membentaknya, mengatainya, memukulnya).
 
 
Jantung rumah adalah seorang istri. Jika hati istri mu tidak bahagia, maka seisi rumah akan tampak seperti neraka (tidak ada canda tawa, manja, perhatian). Maka sayangi istrimu agar dia bahagia dan kau akan merasa seperti di surga.
Besar atau kecil gajimu, seorang istri tetap ingin diperhatikan. Dengan begitu, maka istrimu akan selalu menyambutmu pulang dengan kasih sayang.
dua orang yang tinggal 1 atap (menikah) tidak perlu gengsi, bertingkah, siapa menang siapa kalah. Karena keduanya bukan untuk bertanding melainkan teman hidup selamanya.
Di luar banyak wanita idaman melebihi istrimu. Namun mereka mencintaimu atas dasar apa yang kamu punya sekarang, bukan apa adanya dirimu. Saat kamu menemukan masa sulit, maka wanita tersebut akan meninggalkanmu dan punya pria idaman lain di belakangmu.
Banyak istri yang baik. Tapi di luar sana banyak pria yang ingin
mempunyai istri yang baik dan mereka tidak mendapatkannya. Mereka akan menawarkan perlindungan terhadap istrimu. Maka jangan biarkan istrimu meninggalkan rumah karena kesedihan, Sebab ia akan sulit sekali untuk kembali.
Ajarkan anak laki-lakimu bagaimana berlaku terhadap ibunya, sehingga kelak mereka tahu bagaimana memperlakukan istrinya.
Istri yang kamu nikahi tidaklah semulia Khadijah
tidaklah setaqwa Aisyah pun tidak setabah Fatimah
Mengapa kamu mendamba istri sehebat Khadijah,
andai diri tak semulia Rasulullah
Tak perlu mencari istri secantik Balqis,
andai diri tak sehebat Sulaiman
Istrimu hanyalah wanita akhir zaman
yang punya cita-cita menjadi solehah dan mulia

Wahai istri...!
 Suamimu dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kala rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
Suamimu dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah dan ibunya hingga dia beranjak dewasa. namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung nafkahmu, perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.

Suamimu ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu serta dirimu. padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya. namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.
Suamimu berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha menyelesaikannya sendiri. sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi. padahal bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar. namun tetap saja masalahmu di utamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.
Suamimu berusaha memahami bahasa diammu, bahasa tangisanmu. sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami bahasa verbalnya saja. itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali
Suami yang kamu nikahi tidaklah semulia Rasulullah SAW,
tidaklah setaqwa Ibrahim,
pun tidak setampan Yusuf
Mengapa mengharap suami setampan Yusuf,
seandainya kasih tak setulus Zulaikha
Tak perlu mencari suami seteguh Ibrahim,
andai diri tak sekuat Hajar dan Sarah
Suamimu hanyalah lelaki akhir zaman
yang berusaha membentuk keturunan yang soleh
Ingatlah...!
Kalian hanya suami istri akhir zaman
yang berusaha menegakkan syariat-Nya

Selasa, 20 Agustus 2013

Sayangilah Aku Hingga Ujung Waktu


Karya : Abu Aufa
Kalau kita berbicara tentang pernikahan, pasti semua mengharapkan yang enak-enak atau kondisi ideal. Normal aja dong, kalau mengharapkan kriteria ideal untuk calon pasangan hidupnya. Sang pemuda mengharapkan calon istri yang cantik jelita, keluarganya tajir, pinter, akhlak mulia, sholehah, dll. Begitu juga sang wanita ingin punya suami yang ganteng, kaya, sabar, pinter, bertanggung jawab, setia, akhlaknya memikat, dan sebagainya. Coba bayangin semua ini terjadi pada diri kita, wuah...surga dunia tuh! Siapa sih yang gak mau, iya gak?

Saat kita lanjut usia, rambut mulai satu-persatu rontok, raga pun perlahan rapuh dan sepuh, sang istri atau suami masih tetap setia mendampingi. Saat di pembaringan, ada yang mijitin pundak hingga kitapun tertidur pulas. Saat dingin menyerang rangkulan kekasih pun semakin erat, bersama saling menopang saat kaki-kaki kita semakin melemah. Kalau sedih ada yang menghibur, saat senang, apalagi, wuah...uendah nian.

Namun, menurut Hasan Al Banna, waktu itu adalah kehidupan, ia tak pernah berhenti sesaatpun, seiring waktu berlalu, istri semakin keriput dan endut. Tapi menurut sang suami, "Istriku masih yang tercantik," sementara suami pun perutnya udah buncit, tapi menurut sang istri, "Engkaulah satu-satunya Pangeran dalam istana hatiku."

Kebesaran Allah SWT pun selalu tampak di dalam rumah tangga. Setiap anggota keluarga melakukan sholat berjamaah, qiyamullail, membaca Al Qur'an, tasbih, tahmid, saling bertausyiah, bermaafan, menasehati, dan mengingatkan. Inilah hasil dari sepasang anak manusia yang menikah karena ingin mengharapkan ridho-Nya dan cita-cita Islam serta kemegahan ajaran-Nya. Inilah dia surga yang disegerakan sebelum surga yang kekal abadi.

Semua diatas adalah harapan setiap pasangan. Namun, tak jarang juga ditemukan dalam suatu keluarga yang terjadi adalah sebaliknya. Dari istri yang dibilang gak pinter mengatur rumah tangga, menjaga anak, atau suami yang selalu pulang malam tak peduli dengan anak dan istri, dan macam-macam lagi. Kata nista, kata-kata yang nyelekit, tuduhan, makian bahkan saling memukul, bisa juga terjadi pada sebuah keluarga, yang gini nih sepet banget! Rumah tangga serasa bagai hidup di neraka, tak ada ketenangan apalagi kasih sayang.

Emang ya, segala sesuatu itu bisa tak seindah bayangan semula. Ada bunga-bunga indah, namun cukup banyak juga onak dan duri yang siap menghadang. Karena itu, berbagai masalah kehidupan dalam lembaga pernikahan harus dihadapi secara realistis oleh setiap pasangan.

Apalagi hidup di zaman seperti sekarang ini memang tak mudah, namun Al Qur'an memberikan arahan dalam kehidupan berumah tangga, *".... dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik....** [QS Ath Thalaaq: 6] *"..... *dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." **[QS An Nisaa': 19] *

Seperti gading, tak ada yang tak retak, begitu juga manusia, tak ada yang sempurna. Setiap kita pasti ada kekurangannya, bisa saja seorang suami atau istri terlihat mempunyai satu kekurangan, namun kalau dipikir-pikir lebih banyak kelebihannya. Apakah kekurangannya saja yang diperhatikan oleh pasangannya atau kedua-duanya dengan pertimbangan yang adil?

Konflik dalam kehidupan rumah tangga juga tak jarang menyebabkan banyak pasangan kehilangan cinta yang dulunya mempersatukan mereka, dan Allah SWT juga telah memberikan arahan yang jelas, *"Hai orang-orang mu'min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." **[QS At Taghaabun: 14]*

Karena itu, sesungguhnya dalam kehidupan berkeluarga yang kita harapkan adalah indahnya keampunan Allah dan surga-Nya, juga kasih sayang orang-orang yang terdekat dengan kita, yang setiap hari saling membutuhkan, karena itu 'sayangilah aku (pasangan hidupmu) hingga ujung waktu.'

Wahai akhi wa ukhti fillah, mari kita saling mendoakan ya, Semoga dengan kita mengambil panduan Al Qur'an dan sunnah Rasul-Nya serta contoh teladan dari keluarga Rasulullah SAW, akan semakin banyak rumah tangga yang tadinya kurang sakinah kembali menjadi sakinah, rumah tangga yang sakinah menjadi lebih sakinah, dan insya Allah pula saudara-saudara yang belum berumah tangga dikabulkan do'anya berupa pasangan hidup yang sholeh atau sholehah, *aamiin allahumma aamiin.*

Wallahu alam bi showab,


Minggu, 18 Agustus 2013

Kebiasaan-Kebiasaan Yang Wajib Dijauhi Dalam Pernikahan


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Kami akan menyebutkan dalam bab ini, sebagian kebiasaan yang harus dijauhi secara mutlak, karena syari’at melarangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan ini sering dilakukan ketika langsung-kannya pernikahan, maka tepat sekali bila kami mengemukakannya di sini.

Pertama:
MENCABUT ALIS.
Syaikh al-Albani mengatakan: “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa mencabut alisnya, sehingga menjadi seperti busur atau bulan sabit yang mereka lakukan untuk mempercantik diri menurut dugaan mereka, maka hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya dilaknat; berdasar-kan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالْوَاصِلاَتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.

"Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, dan wanita yang merenggangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah."[1]

Hal ini diharamkan, walaupun dilakukan untuk suami, karena terdapat larangan yang tegas.

Kedua:
MENTATO, MERENGGANGKAN (MENGIKIR) GIGI DAN MENYAMBUNG RAMBUT.
Disebutkan dalam kitab ash-Shahiihain dan selainnya, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur alisnya, wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang me-rubah ciptaan Allah."

Hal itu sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang (biasa) dipanggil Ummu Ya’qub, maka ia datang seraya mengatakan: "Telah sampai kepadaku darimu, bahwa engkau melaknat demikian dan demikian." Ia (Ibnu Mas’ud) menjawab: "Mengapa aku tidak (boleh) melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang dilaknat dalam Kitabullah?" Ia mengatakan: "Aku telah mem-baca al-Qur-an dan aku tidak mendapati apa yang engkau katakan." Dia menjawab: "Jika engkau telah membacanya, maka engkau (telah) mendapatinya. Bukankah engkau membaca:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

‘Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...’” [Al-Hasyr/59: 7].

Ia menjawab: "Tentu." Dia mengatakan: "Sesungguhnya beliau telah melarangnya." Ia mengatakan: "Aku melihat keluargamu melakukannya." Dia mengatakan: "Pergilah, lalu lihatlah!" Kemudian ia pergi untuk melihatnya, tetapi ia tidak mendapati sesuatu pun dari apa yang ditujunya." Dia mengatakan: "Seandainya ia demikian, niscaya aku tidak menggaulinya."[2]

Dalam kitab ash-Shahiihain dari ‘Aisyah, bahwa seorang gadis dari Anshar telah menikah. Kemudian ia sakit sehingga rambutnya rontok, lalu ia ingin menyambung rambutnya, lantas mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.

"Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta untuk disambung rambutnya."[3]

An-naamishah ialah wanita yang mencukur bulu alis.

Al-wasyr ialah merenggangkan gigi dan mengikirnya dengan alat pengikir dan selainnya, sehingga menjadi indah. Inilah makna al-mutafallijaat lil husni, yakni wanita yang melakukannya untuk kecantikan.

Adapun al-wasym ialah menusuk anggota tubuh dengan jarum atau selainnya sampai darahnya mengalir, kemudian diberi celak atau selainnya sehingga menjadi biru. Kadangkala berbentuk hiasan atau selainnya. Pelaku atas semua perbuatan itu akan dilaknat.

Sedangkan arti laknat ialah dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keberadaan tato itu najis, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama karena darah tercampur di dalamnya. Oleh karena itu, harus dihilangkan walaupun dengan melukainya, jika hal itu memungkinkan.[4]

Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin berkata: "Merias itu ada dua macam:

1. Bersifat tetap dan berkelanjutan, seperti tato, memperindah gigi dan mencabut alis mata, maka semua ini diharamkan; bahkan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku-nya.

2. Merias yang bersifat sementara, maka hal ini tidak mengapa, seperti merias dengan celak, make up dan selainnya (yang dilakukan di rumah untuk suaminya-ed.)."[5]

Memakai Wig.
Syaikh al-Fauzan mengatakan: "Di antara menyambung rambut yang diharamkan adalah memakai wig yang dikenal pada zaman ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَجْعَلُ فِيْ رَأْسِهَا شَعْرًا مِنْ شَعْرِ غَيْرِهَا، إِلاَّ كَانَ زُوْرًا.

‘Tidaklah seorang wanita meletakkan rambut dari rambut selainnya, malainkan itu suatu penipuan.'

Wig adalah rambut buatan yang menyerupai rambut kepala, dan memakainya adalah sebuah penipuan."[6]

Dan berdasarkan hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang seorang gadis yang rambutnya rontok dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya menyambung rambutnya dengan rambut selainnya.[7]

Dari Humaid bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Mu’awiyah Radhiyallahu anhu pada musim haji (berada) di atas mimbar seraya mengambil sejumlah rambut yang berada di tangan Horasi (hamba sahaya amir) lalu mengatakan, "Wahai penduduk Madinah, di mana-kah ulama-ulama kalian? Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan semacam ini. Beliau bersabda:

إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ حِيْنَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ.

'Binasanya Bani Israil adalah ketika wanita-wanita mereka menggunakan ini.'"[8]

Sebagian ulama menyebutkan bolehnya memakai wig pada saat rambut wanita tidak tumbuh, yakni botak, maka tidak me-ngapa memakai wig dalam keadaan demikian.

Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apakah wanita halal menggunakan wig, yaitu rambut palsu demi suaminya?

Beliau menjawab: “Wig itu diharamkan dan ia termasuk dalam ketegori menyambung rambut, meskipun tidak tersambung. Sebab, wig ini menampakkan rambut wanita yang lebih panjang dari rambut sebenarnya sehingga serupa dengan menyambung. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta menyambungnya.

Tetapi jika sejak asal di kepala wanita tidak ada rambutnya, misalnya botak, maka tidak mengapa menggunakan wig untuk menutupi aib ini; karena menghilangkan aib itu adalah boleh. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan orang yang hidungnya terpotong di salah satu peperangan untuk membuat hidung dari emas. Permasalahannya lebih luas dari itu, sehingga -dengan demikian- masalah-masalah mempercantik diri disertai berbagai prosesnya seperti memperkecil hidung dan selainnya masuk dalam ketegorinya. Mempercantik bukan menghilangkan aib. Jika hal itu untuk menghilangkan aib, maka tidak mengapa, misalnya hidungnya bengkok lalu ia meluruskannya atau menghilangkan bercak hitam, misalnya, maka tidak mengapa. Adapun jika bertujuan mengubahnya dengan menghilangkan aib, seperti tato misalnya, maka ini dilarang. Menggunakan wig, walaupun dengan seizin suami dan restunya, maka ini diharamkan; karena izin dan restu tidak berlaku dalam perkara yang diharamkan Allah.”[9]

Berkaitan dengan menghilangkan tato setelah mengetahui keharamannya atau setelah bertaubat dari hal itu, Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: "Jika manusia mampu menghilangkannya, maka ia harus menghilangkannya. Jika tidak dapat dihilangkan dari aspek kedokteran, maka -alhamdulillah- ia mendapatkan udzur karena tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupan-mu...” [At-Taghaabun/64: 16]."[10]

Ketiga:
MENCAT DAN MEMANJANGKAN KUKU.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اَلاِخْتِتَانُ، وَاْلاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبَ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ.

“Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima; khitan, men-cukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.”[11]

Anas Radhiyallahu anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan waktu bagi kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong rambut kemaluan, yaitu tidak dibiarkan lebih dari 40 malam."[12]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, "Inilah kebiasaan buruk yang ditularkan dari wanita-wanita berkelakuan buruk dari bangas Eropa kepada kebanyakan wanita muslimah, yaitu mencat kuku mereka dengan warna merah dan memanjangkan sebagiannya. Dan sebagian pemuda pun melakukannya."[13]

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: "Tidak boleh memanjangkan kuku; karena memanjangkan kuku menyerupai binatang dan sebagian kaum kafir. Mencat kuku sebaiknya tidak dilakukan dan wajib menghilangkannya ketika berwudhu’, karena menghalangi sampainya air ke kuku."[14] Kemudian beliau menyebutkan dua hadits tentang fitrah di atas.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 4886) kitab Tafsiirul Qur-aan, Muslim (no. 2125) kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 2782) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 5099) kitab az-Ziinah, Abu Dawud (no. 4169) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 1989) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 3871), ad-Darimi (no. 2647) kitab al-Isti'-dzaan.
[2]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5205) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2123) kitab al-Libaas waz Ziinah, an-Nasa-i (no. 5097) kitab az-Ziinah, Ahmad (no. 24282).
[4]. Kitab Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i, Muhammad al-Musnid (hal. 42, no.42), dan lihat Fat-hul Baari (X/372).
[5]. Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i (hal. 42).
[6]. Ibid (hal. 43), dan dinisbatkan kepada kitab ad-Da’wah (no. 1240).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 5205) dan takhrijnya telah disebutkan.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 5932) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, Muslim (no. 2127) kitab al-Libaas waz Ziinah, at-Tirmidzi (no. 2781) kitab al-Adab, Abu Dawud (no. 4167) kitab at-Tarajjul, Ahmad (no. 16388), Malik (no. 1765) kitab al-Jaami’.
[9]. Fataawaa al-Mar-ah, dihimpun oleh Muhammad al-Musnid (hal. 183).
[10]. Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syari’ (hal. 43), dan dinisbatkan kepada ad-Da’wah (no. 1375).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5889), kitab al-Libaas, Muslim (no. 257) kitab ath-Thahaarah, at-Tirmidzi (no. 2756) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 10) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 4198) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 292) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 7092), Malik (no. 1709) kitab al-Jimaa’.
[12]. HR. Muslim (no. 258) kitab ath-Thahaarah, at-Tirmidzi (no. 2758) kitab al-Adab, an-Nasa-i (no. 14) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 4200) kitab at-Tarajjul, Ibnu Majah (no. 295) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuha, Ahmad (no. 11823).
[13]. Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 204).
[14]. Fataawaa al-Mar-ah, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad al-Musnid, (hal. 167).

Source :  http://almanhaj.or.id/content/2497/slash/0/kebiasaan-kebiasaan-yang-wajib-dijauhi-dalam-pernikahan/

Memenuhi Syarat-Syarat Nikah


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Pertama:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Bab Ini.

1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ.

‘Syarat yang paling layak engkau penuhi ialah apa yang membuat kemaluan (isterimu) dihalalkan untukmu."[1]

2. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Ali meminang puteri Abu Jahal, Fathimah mendengar hal itu lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Kaummu menyangka bahwa engkau tidak marah untuk (membela) puterimu. ‘Ali akan menikahi puteri Abu Jahal." Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu dia mendengarnya ketika menyaksikan beliau berkhutbah: "Amma ba’du. Aku telah menikahkan (puteriku) kepada Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, lalu ia berkata dengan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku dan aku tidak suka ada yang menyakitinya. Demi Allah, tidak akan berkumpul puteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan puteri musuh Allah pada satu pria." Lalu ‘Ali membatalkan pinangannya.[2]

Kedua:
Pendapat Para Ulama Mengenai Hal Itu.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hak suatu syarat adalah untuk dipenuhi, Imam asy-Syafi'i dan kebanyakan ulama menyatakan: "Ini difahami sebagai syarat-syarat yang tidak menafikan konsekuensi pernikahan, bahkan merupakan konsekuensi dan tujuannya. Seperti disyaratkannya mempergauli dengan ma’ruf, memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepadanya dengan cara yang ma’ruf. Suami tidak boleh mengurangi sedikit pun dari hak-haknya dan memberi bagian untuknya seperti selainnya. Se-mentara wanita tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan seizinnya, tidak berperilaku buruk terhadapnya, tidak berpuasa sunnah tanpa seizin darinya, tidak mengizinkan (orang lain) masuk rumahnya kecuali dengan izinya, dan tidak membelanjakan hartanya kecuali dengan keridhaannya, serta hal lain semisalnya."[3]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Kita mempunyai (dalil) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَحَقَّ مَا وَفَّيْتُمْ بِهِ مِنَ الشُّرُوْطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفَرْجَ.

‘Sesungguhnya syarat yang paling berhak kalian penuhi ialah apa (mahar) yang membuat kemaluan (wanita) menjadi halal bagimu.’”

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شَرُوْطِهِمْ.

"Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka."

Karena ini adalah pendapat banyak Sahabat, dan kami tidak mengetahui pihak yang menyelisihi mereka di masa mereka, maka ini adalah ijma’.

Al-Atsram meriwayatkan dengan sanadnya bahwa seseorang menikahi wanita dan disyaratkan bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya. Kemudian dia ingin membawa isterinya, mereka (wali) mengadukannya kepada ‘Umar. ‘Umar berkata: "Untuknya syarat yang telah ditetapkannya." Mendengar hal itu pria tersebut me-ngatakan: "Kalau begitu kami bercerai." ‘Umar mengatakan: "Orang yang memutuskan hak-hak itu menurut syarat-syaratnya, dan karena disyaratkan untuknya apa yang di dalamnya berisi manfaat. Dan niat tidak menghalangi tujuan pernikahan. Jadi ini suatu kelaziman, sebagaimana halnya seandainya disyaratkan terhadapnya agar me-nambah mahar. Sedangkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ.

‘Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia adalah bathil.’

Yakni bukan dalam hukum Allah dan syari’atnya. Dan ini disyari’atkan.”[4]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Sebagian wali mensyaratkan terhadap suami puterinya agar melanjutkan studi isterinya dan bekerja setelah lulus pada saat akad pernikahan; apakah syarat ini dibolehkan? Apakah hukum seandainya ia tidak melaksanakannya setelah pernikahan?”

Jawaban: Syarat yang diajukan terhadap suami, jika tidak diharamkan secara syar’i dan dia rela dengan syarat tersebut, maka itu menjadi keharusan atasnya. Yakni, dia harus melaksanakannya; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ.

"Sesungguhnya syarat yang paling layak engkau penuhi ialah apa yang membuat kemaluan (wanita) dihalalkan untukmu."[5]

Tetapi tidak sepatutnya isteri dan keluarganya mensyaratkan seperti yang tersebut dalam pertanyaan. Bahkan sepatutnya mereka menjadikan perkara itu sebagai kesepakatan di antara suami-isteri pasca pernikahan.

Seperti diketahui bahwa suami menikahi wanita untuk dijadikan sebagai isteri yang mendidik anak-anaknya dan memperbaiki keadaannya, bukan menjadi wanita karir yang tidak dilihatnya kecuali di sebagian waktu. Memudahkan dalam perkara semacam ini dan tidak mensyaratkan sedikit pun dari hal itu adalah yang lebih utama dan lebih baik.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seseorang yang bersumpah bahwa dia tidak akan menikahi si fulanah, jika dia menikahinya dia akan menceraikannya, kemudian terbersit olehnya untuk menikahinya; apakah dia boleh menikahinya?

Ia menjawab : Alhamdulillaah. Ia boleh menikahinya dan talak tidak terjadi dengannya jika ia menikahinya, menurut jumhur ulama Salaf. Dan ini adalah mazhab asy-Syafi`i, Ahmad dan selainnya.

Jika disyaratkan dalam akad bahwa dia tidak akan memadu-nya, dan jika dia memadunya maka wanita itu berhak memutuskan urusannya sendiri, maka syarat ini shahih dan suatu kelaziman menurut madzhab Malik, Ahmad dan selain keduanya. Ketika dia memadunya, maka wanita itu berhak memutuskan urusannya sendiri; jika suka ia boleh meneruskan pernikahan dan jika tidak maka ia boleh berpisah. Wallaahu a’lam.[7]

SYARAT-SYARAT YANG TIDAK DIHALALKAN DALAM AKAD:

Pertama:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Hal Itu.

1. Semua syarat yang menyelisihi Kitabullah adalah batal.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِيْ كِتَابِ اللهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَـاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ، وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ.

"Mengapa orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah. Suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu batal, meskipun seratus syarat. Ketentuan Allah lebih benar, dan syarat Allah lebih kuat."[8]

2. Wanita tidak boleh meminta agar madunya diceraikan, supaya laki-laki itu menikahinya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا.

"Tidak halal bagi seorang wanita meminta saudara perempuannya (madunya) diceraikan agar dia dapat menggantikan posisinya. Sebab, dia hanya mendapatkan apa yang ditentu-kan untuknya."[9]

Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h: "Arti litastafrigha shafhataha ialah mencenderungkan pria tersebut kepadanya dan mengambil apa yang didapat dari pernikahan, serta melebihi bagian yang pernah diterima madunya bersamanya."[10]

Kedua:
Pendapat Para Ulama Mengenai Hal Itu.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Seandainya seseorang menikah dengan gadis atau janda dengan disertai syarat bahwa ia boleh keluar dari rumahnya kapan saja ia suka, boleh keluar dari negerinya, tidak memadunya, tidak bepergian, atau syarat apa pun yang disyaratkannya yang bila pernikahan dilangsungkan, maka ia harus melakukannya dan menghalangi wanita itu terhadapnya, maka nikahnya sah dan syaratnya batal.[11]

Imam Malik rahimahullah berkata dalam al-Muwaththa': “Syarat pernikahan yang tidak dibolehkan -maka perkaranya menurut kami- bahwa jika seseorang menyetujui syarat seorang wanita, meskipun syarat tersebut (diajukan) pada saat akad pernikahan: ‘Bahwa aku tidak memadumu dan tidak bepergian meninggalkanmu,’ maka itu tidak ada artinya (tidak berdampak apapun) kecuali bila dalam hal itu ada sumpah dengan mengaitkan talak atau memerdekakan (budak), maka itu wajib atasnya dan lazim baginya.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan inilah yang dipegang oleh sebagian ulama dari para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: ‘Jika seorang pria menikahi seorang wanita dan disyaratkan untuknya supaya dia tidak membawanya keluar dari negerinya, maka ia tidak boleh membawanya keluar.’ Ini adalah pendapat sebagian ulama dan juga pendapat Imam asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”[12]

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa ia mengatakan: "Syarat Allah (harus didahulukan) sebelum syarat wanita."[13]

Ketiga:
Ringkasan Masalah.
Ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi dari perkara-perkara yang mubah, sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi yang mengutip dari Imam asy-Syafi’i; seperti mensyaratkan agar mempergaulinya dengan ma’ruf, memberi nafkah kepadanya, memberi pakaian kepadanya, dan memberi rumah kepadanya. Dari pihak wanita disyaratkan supaya tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan seizinnya, dan tidak membelanjakan hartanya kecuali dengan keridhaannya.

Sedangkan syarat-syarat yang tidak wajib dipenuhi karena menyelisihi Kitabullah menurut Imam asy-Syafi’i; seperti tidak membawanya bepergian atau tidak pergi kepadanya di malam hari, maka ini tidak wajib dipenuhi, atau tidak memadunya, maka ini diperselisihkan.[14]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 2721) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1418) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1127) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3281) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2139) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1945) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 16851), ad-Darimi (no. 2203), kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 3729) kitab Fadha-ilush Shahaabah, Muslim (no. 2449) kitab Fadha-ilush Shahaabah, Abu Dawud (no. 2069) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1998) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 18432).
[3]. Komentar Syaikh Muhammad Fu-ad 'Abdul Baqi atas Shahiih Muslim (II/1036).
[4]. Al-Mughni (VII/449) dengan diringkas.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Fataawaa Islaamiyyah li Majmuu’ah minal Masyaayiikh (III/158).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/170).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2156) kitab al-Buyuu’, Muslim (no. 1504) kitab al-‘Itq, Abu Dawud (no. 3929) kitab al-‘Itq, an-Nasa-i (no. 3655) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2521) kitab al-Ahkaam, Malik (no. 1519) kitab al-‘Itq wal Walaa'.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5152) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1413) kitab an-Nikaah.
[10]. Fat-hul Baari (IX/220).
[11]. Al-Umm (V/107).
[12]. Tuhfatul Ahwadzi (IV/231).
[13]. Syaikh al-‘Adawi mengatakan dalam Ahkaamun Nisaa' (vol. iii): “Ini adalah atsar yang lemah.”
[14]. Tuhfatul Ahwadzi (IV/231).

Source : http://almanhaj.or.id/content/2558/slash/0/memenuhi-syarat-syarat-nikah/

Gadis Diminta Izinnya Janda Diminta Perintahnya, Mempertimbangkan Al-Kafaa-ah


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Pertama:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Bab Ini.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Abu Salamah, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menuturkan kepada mereka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ.

"Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintah-nya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta izinnya."

Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?" Beliau menjawab:

أَنْ تَسْكُتَ.

"Bila ia diam."[1]

2. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: "Wahai Rasulullah, gadis itu pemalu." Beliau menjawab:

رِضَاهَا صَمْتُهَا.

"Ridhanya adalah diamnya."[2]

3. Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوْهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا.

"Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan gadis, ayahnya meminta izin kepadanya untuk menikahkan dirinya, dan izinnya adalah diamnya."

Terkadang beliau bersabda:

وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا.

"Dan diamnya adalah persetujuannya."[3]

4. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Khansa' binti Khadzdzam al-Anshariyyah bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan dia adalah seorang janda, maka dia tidak menyukai hal itu. Kemudian dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan hal itu kepada beliau, maka beliau menolak pernikahannya.[4]

Kedua:
Pernyataan-Pernyataan Para Ulama.
1. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Wanita manapun, baik janda maupun gadis, yang dinikahkan tanpa seizinnya, maka nikahnya batal, kecuali ayah terhadap anak gadisnya dan tuan terhadap sahayanya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan Khansa' binti Khadzdzam ketika ayahnya menikahkannya dalam keadaan terpaksa. Beliau tidak mengatakan: ‘Kecuali bila engkau hendak berbakti kepada ayahmu, lalu engkau membolehkannya menikahkan(mu).’ Seandainya ia membolehkannya untuk menikahkannya, itu berarti serupa dengan memerintahkannya supaya membolehkan ayahnya menikahkannya dan tidak menolak pemaksaannya terhadapnya."[5]

2. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai dianjurkannya meminta izin anak gadis. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya dan melarang dari nikah tanpa izin tersebut. Paling tidak, ini adalah dianjurkan. Karena ini bisa menyenangkan hatinya dan menghindari perselisihan. ‘Aisyah berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gadis yang dinikahkan keluarganya, apakah dia diminta perintahnya atau tidak?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab kepadanya: 'Ya, dia diminta perintahnya.'"[6]

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak sepatutnya seseorang menikahkan wanita kecuali dengan izinnya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Jika dia tidak menyukainya, jangan dipaksa untuk menikah, kecuali gadis kecil. Sebab, ayahnya boleh menikahkannya tanpa izinnya. Adapun wanita yang sudah baligh, tidak boleh -selain ayah dan kakek- menikahkannya tanpa seizinnya berdasarkan kesepakatan umat Islam."[7]

Ketiga:
Ringkasan Pendapat dalam Masalah Ini.
1. Gadis yang belum baligh boleh dinikahkan dengan pria sekufu’ tanpa izinnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Al-Mundzir mengatakan: ‘Semua orang yang kami hafal darinya dari kalangan ulama telah sepakat bahwa ayah boleh menikahkan puterinya yang masih kecil jika menikahkannya dengan pria sekufu’. Ayahnya boleh menikah-kannya meskipun dia tidak suka dan menolaknya. Dalil tentang bolehnya menikahkan gadis yang masih kecil adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

‘Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haidh di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.’ [Ath-Thalaaq/54: 4]

Allah menetapkan untuk wanita yang belum haidh ‘iddah selama tiga bulan, dan ‘iddah selama tiga bulan ini tidak terjadi kecuali karena talak dalam pernikahan atau pembatalan. Jadi, itu menunjukkan bahwa dia dapat dinikahkan dan dicerai serta tidak ada izin untuknya. Camkanlah! ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku saat aku berusia enam tahun.’”[8]

2. Gadis yang sudah baligh; mengenai hal ini ada dua pendapat:
a. Ayah boleh memaksanya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i.
b. Dia tidak boleh memaksanya.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ.

"Janda tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya, dan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta izinnya."

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?" Beliau menjawab:

أَنْ تَسْكُتَ.

"Bila ia diam."

Inilah yang kuat. Wallaahu a’lam. [9]

3. Janda tidak boleh dinikahkan tanpa izinnya.
Al-Kharqi rahimahullah berkata: "Jika seseorang menikahkan puterinya yang janda tanpa izinnya, maka nikahnya bathil, meskipun ia rela sesudah itu."
Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni: "Tidak boleh bagi ayah dan selainnya menikahkannya kecuali dengan izinnya, me-nurut pendapat kebanyakan ulama; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ.

'Janda tidak sah dinikahkan sehingga diminta perintahnya.'"[10]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5136) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1419) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1107) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih,” an-Nasa-i (no. 3265) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2092) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1871) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 7091), ad-Darimi (no. 2186) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5137) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1420) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Muslim (no. 4121) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2100) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 5138) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3268) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2101) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1873) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26246), ad-Darimi (no. 2191) kitab an-Nikaah, al-Muwaththa’, Malik (no. 1135) kitab an-Nikaah.
[5]. Al-Umm (V/29).
[6]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/384).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/39).
[8]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/384).
[9]. Ibid.
[10]. Ibid (VII/385).


MEMPERTIMBANGKAN AL-KAFAA-AH

Al-Kafaa-ah (الْكَفَاءَةُ) menurut bahasa: الْكَفِىءُ ialah النَّظِيْرُ (setara). Demikian pula الْكُفْءُ dan الْكُفْوُ, menurut wazan فَعْلٌ dan فُعُلٌ. Bentuk mashdarnya ialah الْكَفَاءَةُ. Engkau mengatakan: لاَ كِفَاءَ لَهُ, artinya لاَ نَظِيْرَلَهُ (tiada bandingannya).

الْـكُفْءُ artinya sebanding dan sama. Di antaranya ialah al-kafaa-ah dalam pernikahan, yaitu suami sebanding dengan wanita dalam hal kedudukannya, agamanya, nasabnya, rumahnya dan selainnya.[1]

Al-kafa-ah menurut syari’at ialah kesetaraan di antara suami isteri untuk menolak aib dalam perkara-perkara yang khusus, yang menurut ulama-ulama madzhab Maliki yaitu agama dan keadaan (al-haal), yakni terbebas dari cacat yang mengharuskan khiyar (pilihan) untuknya. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas ulama) ialah agama, nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Ulama-ulama madzhab Hanafi dan ulama-ulama madzhab Hanbali menambahkan dengan kekayaan, atau harta.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Penilaian al-kafaa-ah dalam agama disepakati. Maka pada dasarnya, muslimah tidak halal bagi orang kafir."[2]

Pertama:
Ayat-Ayat yang Menunjukkan Dipertimbangkannya al-Kafaa-ah
1. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguh-nya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2: 221]

2. Dia berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” [Al-Hujuraat: 13]

3. Dia berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” [An-Nuur/24: 26].

4. Dia berfirman:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang ber-zina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nuur/24: 3].

Kedua:
Hadits-Hadits Mengenai Hal Itu
1. Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Akfaa' fid Diin, kemudian dia menyebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

"Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya; maka pilihlah yang taat beragama, niscaya engkau beruntung."[3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fat-h: "Ini adalah jawaban yang tegas, jika dasar penilaian tentang al-kafaa-ah dalam nasab dianggap sah (karena harta dan keturunannya). Al-hasab pada asalnya ialah kemuliaan ayah dan kaum kerabat... karena kebiasaan mereka jika saling membanggakan, maka mereka menyebut sifat-sifat mereka dan peninggalan bapak-bapak mereka serta kaum me-reka."[4]

Dinukil dari al-Qurthubi rahimahullah : "Tidak boleh diduga dari hadits ini bahwa keempat hal ini difahami sebagai al-kafaa-ah, yakni terbatas padanya."[5]

2. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا جَـاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوَّجُوْهَ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرَ.

"Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar."[6]

3. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَـا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَـاهِلِيَّةِ، وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا، فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيْمٌ عَلَى اللهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ، وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ، قَالَ اللهُ: ) يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (.

‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kebanggaan Jahiliyyah dan mengagung-agungkan bapak-bapaknya. Manusia itu ada dua macam, orang yang berbakti, bertakwa lagi mulia di sisi Allah dan orang yang durhaka, celaka lagi hina di sisi Allah. Manusia adalah anak keturunan Adam, dan Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman, ‘Hai manusia, sesungguhnya Kami mencipta-kanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan men-jadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,’ [Al-Hujuraat/49: 13]."

4. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, bahwa seseorang lewat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya: "Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?" Mereka menjawab, "Jika dia meminang pasti lamarannya diterima, jika menjadi perantara maka perantaraannya diterima, dan jika berkata maka kata-katanya didengar." Kemudian ia diam. Lalu seseorang dari kaum muslimin yang fakir melintas, maka beliau bertanya, "Apa yang kalian katakan tentang orang ini?" Mereka menjawab, "Sudah pasti jika melamar maka lamarannya ditolak, jika menjadi perantara maka perantaraannya tidak akan diterima, dan jika berkata maka kata-katanya tidak didengar." Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Orang ini lebih baik daripada seisi bumi orang seperti tadi."[8]

Menurut ulama, al-kafaa-ah bukan syarat sahnya pernikahan, kecuali seperti dalam ayat pertama dari bab ini.[9] Persoalannya terletak pada kerelaan wanita dan wali perihal kedudukan, nasab dan harta… demikianlah, wallaahu a’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seseorang yang menikahkan keponakan perempuannya dengan anak laki-lakinya, sedangkan si suami ini fasik yang tidak menunaikan shalat. Mereka menakuti-nakuti wanita ini sehingga dia mengizinkannya untuk menikah. Mereka mengatakan: "Jika kamu tidak mengizinkannya, dan jika tidak maka syari’at yang menikahkanmu tanpa memberimu pilihan." Suami ini sekarang mengambil harta isterinya, dan menghalangi orang lain menemuinya untuk menyingkap keadannya; seperti ibunya dan selainnya?

Jawaban: Alhamdulillaah, tidak boleh bagi paman atau selainnya dari para walinya menikahkan wanita yang menjadi perwaliannya tanpa sekufu’ jika ia tidak rela dengan hal itu; berdasarkan kesepakatan para imam. Jika dia melakukan demikian, dia berhak mendapatkan sangsi syar’i yang membuatnya jera, dan sejenisnya dari perbuatan semisal itu. Bahkan seandainya ia ridha dengan tanpa sekufu’, maka wali lain selain yang menikahkan boleh membatalkan pernikahan tersebut. Paman tidak berhak memaksa wanita yang sudah baligh agar menikah dengan sekufu’; maka bagaimana halnya jika dia memaksanya supaya menikah dengan orang yang tidak sekufu’, bahkan dia tidak menikahkannya kecuali dengan orang yang diridhai wanita tersebut, berdasarkan kesepakatan umat Islam?

Jika dia mengatakan kepada wanita ini: “Jika kamu tidak mengizinkan; dan jika tidak, maka syari’at yang menikahkanmu tanpa memberimu pilihan,” lalu ia mengizinkannya, maka izinnya tidak sah, dan tidak sah pula pernikahan berdasarkan pemaksaan tersebut. Sebab, syari’at tidak menetapkan selain ayah dan kakek untuk memaksa gadis kecil menurut kesepakatan para imam. Para ulama hanya berselisih tentang ayah dan kakek perihal gadis yang sudah besar; sedang mengenai gadis kecil adalah mutlak.[10]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab, Ibnu Manzhur (V/3892), Darul Ma’arif.
[2]. Fat-hul Baari (IX/132).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah.
[4]. Fat-hul Baari (IX/135).
[5]. Fat-hul Baari (IX/136).
[6]. Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 3270) kitab at-Tafsiir, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (VI/271).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 5091) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 4120) kitab az-Zuhd.
[9]. (An-Nuur: 3).
[10]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/56-57).

Source : http://almanhaj.or.id/content/2661/slash/0/gadis-diminta-izinnya-janda-diminta-perintahnya-mempertimbangkan-al-kafaa-ah/

Larangan Hidup Membujang


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Arti tabattul (membujang), Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "Tabattul di sini ialah menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah karena ingin terus beribadah kepada Allah."[1]

Hadits-hadits yang melarang hidup membujang cukup banyak, di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak hal itu pada ‘Utsman bin Mazh’un. Seandainya beliau membolehkan kepadanya untuk hidup membujang, niscaya kami membujang."[2]

2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang pemuda dan aku takut memberatkan diriku, sedangkan aku tidak mempunyai sesuatu untuk menikahi wanita.' Tetapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi kepada beliau, tapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Hurairah, pena telah kering dengan apa yang engkau temui (alami); mengebirilah atau tinggal-kan.'"[3]

Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata -mengomentari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Mengebirilah atau tinggalkan"-: "Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

‘Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir.' [Al-Kahfi/18: 29]

Dan ayat ini bukannya membolehkan kekafiran."[4]

Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ditemui oleh Sa’id bin Hisyam seraya bertanya kepadanya: "Aku ingin bertanya kepadamu tentang hidup membujang; bagaimana menurutmu?" Ia menjawab: "Jangan lakukan! Bukankah engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...’ [Ar-Ra’d/13: 38]

Oleh karena itu, janganlah engkau hidup membujang."[5]

Tidak Ada "Kepasturan (Kerahiban)" Dalam Islam.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Aku menjenguk Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash as-Salamiyyah, dan dia adalah isteri 'Utsman bin Mazh'un.” Ia melanjutkan: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi tubuhnya yang buruk, beliau bertanya kepadaku: ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang memperburuk kondisi Khuwailah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ia seorang wanita yang mempunyai suami yang selalu berpuasa di siang hari dan bangun malam (untuk shalat). Ia seperti orang yang tidak mempunyai suami. Oleh karenanya, ia membiarkan dirinya dan menyia-nyiakannya.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada ‘Utsman bin Mazh’un (agar ia datang menghadap). Ketika dia datang kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Wahai ‘Utsman, apakah engkau membenci Sunnahku?’ Ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, bahkan Sunnahmu yang aku cari.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidur, shalat, puasa, berbuka, dan menikahi beberapa orang wanita; maka bertakwalah kepada Allah wahai ‘Utsman, karena isterimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.'"[6]

Asy-Sya’bi meriwayatkan: Ka’ab bin Sur pernah duduk di sisi ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu seorang wanita datang seraya berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak melihat seorang pun yang lebih baik daripada suamiku. Demi Allah, dia senantiasa beribadah pada malam harinya dan senantiasa berpuasa pada siang harinya." Mendengar hal itu ‘Umar memohonkan ampunan untuknya dan memujinya, tetapi wanita ini merasa malu dan beranjak pulang. Ka’ab berkata: "Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau membantu wanita ini (mendapatkan hak) atas suaminya. Sebab, dia telah menyampaikan keluhannya kepadamu." ‘Umar berkata kepada Ka’ab: "Putuskanlah perkara di antara keduanya, karena engkau memahami urusan apa yang tidak aku fahami." Ia mengatakan: "Aku melihat sepertinya dia seorang wanita bersama tiga isteri lainnya, dan ia keempatnya. Oleh karenanya, aku memutuskan tiga hari tiga malam di mana dia (pria ini) beribadah di dalamnya, dan untuknya (wanita ini) sehari semalam." ‘Umar berkata: "Demi Allah, pendapatmu yang pertama tidak lebih mengagumkan dari-pada yang terakhir. Pergilah! Engkau menjadi qadhi (hakim) atas Bashrah. Sebaik-baik qadhi adalah dirimu."[7]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, benarkah apa yang aku dengar bahwa engkau selalu berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalat malam?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah, karena tubuh mempunyai hak atasmu, kedua matamu mempunyai hak atasmu, isterimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak atasmu. Cukuplah engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena engkau akan mendapatkan pada setiap kebajikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, itu seperti puasa sepanjang masa." Ketika aku bersikeras, maka aku sendiri yang akhirnya kesulitan. Aku mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku masih memiliki kesanggupan." Beliau bersabda: "Kalau begitu berpuasalah dengan puasa Dawud Alaihissallam dan jangan menambahnya." Aku bertanya: "Bagaimana puasa Nabi Allah Dawud Alaihissallam?" Beliau menjawab: "Separuh masa." ‘Abdullah berkata setelah tua: "Duhai sekiranya aku menerima keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[8]

Al-Marwazi mengatakan: Abu ‘Abdillah -yakni Ahmad bin Hanbal- berkata: "Hidup membujang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi 14 isteri, dan beliau wafat meninggalkan sembilan isteri. Seandainya Basyar bin al-Harits menikah, niscaya urusannya menjadi sempurna. Seandainya manusia tidak menikah, niscaya tidak ada peperangan, tidak ada haji, dan tidak ada begini dan begitu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah, sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa, dan beliau wafat meninggalkan 9 isteri serta memilih menikah dan menganjurkan akan hal itu. Beliau melarang hidup membujang. Barangsiapa yang membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di atas selain kebenaran. Ya’qub, dalam kesedihannya, masih menikah dan mendapatkan anak. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Dimasukkan ke dalam hatiku kecintaan kepada para wanita."[9]

Aku mengatakan kepadanya, diceritakan dari Ibrahim bin Ad-ham bahwa dia mengatakan: "Sungguh, rasa takut seorang laki-laki yang menanggung beban keluarga yang berat..." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba dia (memotongnya serta) berteriak kepadaku dan mengatakan: 'Kita terperangkap di jalan-jalan yang sempit.' Lihatlah -semoga Allah menyelamatkanmu- apa yang dilakukan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya." Kemudian dia mengatakan: "Sungguh tangisan anak di hadapan ayahnya karena meminta roti kepadanya, itu lebih baik daripada demikian dan demikian. Bagaimana mungkin ahli ibadah yang membujang bisa menyamai orang yang menikah?"[10]

Syubhat:
Makna Tabattul Dalam Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: Di antara hal yang patut untuk disebutkan bahwa al-Qur-an memerintahkan tabattul dalam firman-Nya:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا

“Sebutlah Nama Rabb-mu, dan bertabattullah (beribadahlah) kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil/73: 8].

Makna ayat ini adalah perintah agar menggunakan seluruh waktunya untuk Allah dengan ibadah yang ikhlas.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah/98: 5].

Sementara ada larangan tabattul dalam Sunnah. Dan yang dimaksud dengannya ialah memutuskan hubungan dari manusia dan komunitas, menempuh jalan kependetaan untuk meninggalkan pernikahan, dan menjadi pendeta di tempat-tempat sembahyang. Jadi, tabattul diperintahkan dalam al-Qur-an dan dilarang dalam Sunnah. Kaitan perintah berbeda dengan kaitan larangan; maka keduanya tidak kontradiktif. Dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus untuk menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, Syarh an-Nawawi (III/549).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5074) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3212) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1848) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 1517).

Faidah: Apakah boleh mengebiri binatang? Kalangan yang membolehkan mengebiri binatang berargumen dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menyembelih dua domba yang dikebiri. Mereka berkata: “Seandainya mengebiri hewan yang dapat dimakan itu diharamkan, niscaya beliau tidak menyembelih domba yang dikebiri sama sekali.” Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (VIII/ 625): “Mengebiri hewan diperbolehkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua domba yang dikebiri.” Al-waj' ialah menghancurkan kedua buah zakar, dan apa yang dipotong kedua zakarnya, atau dicabut, maka ia seperti dikekang, karena semakna. Karena mengebiri adalah menghilangkan bagian yang tidak sedap sehingga membuat dagingnya sedap dengan hilangnya bagian itu dapat memperbanyak dan menggemukkan. Asy-Sya’bi berkata: "Apa yang bertambah pada daging dan lemaknya lebih banyak daripada yang hilang darinya. Demikianlah pendapat al-Hasan, ‘Atha’, asy-Sya’bi, an-Nakha'i, Malik dan asy-Syafi'i, dan saya tidak melihat perselisiahan di dalamnya.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5076) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1404) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 3642) lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7832).
[4]. Jaami’ Ahkaamin an-Nisaa’, al-‘Adawi (III/20).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1982) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1849) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1499).
[6]. HR. Ahmad (no. 25776), yang di dalamnya terdapat ‘Abdullah bin Sa’id, ia adalah shaduq, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Abu Dawud (no. 1369) kitab ash-Shalaah.
[7]. Majmuu’ al-Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXIV/85), al-Mughni (VII/30), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa' (VII/80).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 1975) kitab ash-Shaum, Muslim (no. 1159) kitab ash-Shaum, at-Tirmidzi (no. 770) kitab ash-Shaum, an-Nasa-i (no. 1630) kitab ash-Shaum, Ibnu Majah (no. 1712) kitab ash-Shaum, Ahmad (no. 6441), ad-Darimi (no. 1752).
[9]. HR. An-Nasa-i (VII/61) dalam ‘Isyratun Nisaa', bab Hubbun Nisaa', Ahmad (III/128), al-Hakim (II/160) dan ia menilainya sebagai hadits shahih sesuai syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh al-‘Iraqi menilai sanadnya baik, dan Ibnu Hajar menilainya sebagai hadits hasan.
[10]. Raudhatul Muhibbiin (hal. 214).

Source : http://almanhaj.or.id/content/3560/slash/0/larangan-hidup-membujang/