Selasa, 13 Desember 2011

Berbahagialah Mengemban Amanah

Oleh
Ummu Ihsan Al-Atsariyah


Sekecil apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan hati terpaksa diiringi keluh kesah, niscaya akan terasa berat bak menanggung beban sebesar gunung. Sebaliknya, seberat apapun suatu pekerjaan jika dilakukan dengan penuh keikhlasan, kegembiraan dan harapan, niscaya akan terasa ringan dan menyenangkan. Memang benar! Tanggung jawab seorang ibu tidaklah ringan. Tugas dan kewajiban yang dipikulnya tidaklah sedikit Siapapun tak bisa menyangkal, seorang ibu rumah tangga hampir-hampir tak mempunyai waktu istirahat. Pekerjaannya seolah selalu tampak di depan mata tak pernah ada habisnya. Kalau seorang ayah bisa tidur nyenyak di malam hari, lain halnya dengan seorang ibu. Tangis si kecil terkadang mengusik tidur malamnya.

Tugas seorang wanita begitu universal. Sebagai seorang permaisuri pendamping suami, seorang ibu, pengasuh sekaligus guru bagi para anaknya, bahkan sebagai pelayan yang harus selalu siap dipakai tenaganya. Tak jarang para ibu merasa jenuh, letih dan menganggapnya sebagai suatu himpitan yang begitu menyiksa. Inilah celah yang dimanfaatkan setan untuk melancarkan aksinya. Bak gayung bersambut, para wanita yang lemah imannya pun berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka. Mereka berusaha mencari solusi pemecahan dengan meneriakkan slogan emansipasi dan menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Mereka menutup mata dari bahaya yang timbul akibat semua itu. Akibat amanah dan tanggung jawab yang disia-siakan seorang ibu. Anak menjadi liar, suami tidak lagi mendapatkan kedamaian. Akhirnya keharmonisan rumah-tangga pun terancam.

Kita sebagai wanita mukminah yang benar keimanannya. Ia tidak akan mengadopsi solusi-solusi pemecahan yang hanya mengundang murka Allah Azza wa Jalla. Jalan keluar yang hanya akan memicu munculnya masalah-masalah baru yang lebih runyam. Lalu bagaimana caranya? Itulah pertanyaan yang harus kita jawab. Salah satunya adalah dengan mengkaji lebih dalam hikmah di balik tanggung jawab itu.

JERIH PAYAH KITA TIDAK SIA-SIA
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang telah menciptakan manusia. Sudah barang tentu, Dia pulalah yang paling mengetahui perkara-perkara yang dapat mendatangkan mashlahat maupun mudharat. Dia pula yang paling mengethui tugas dan amanat apa yang paling sesuai dan selaras bagi masing-masing makhluk-Nya. Demikian halnya dengan kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling mengetahui tugas dan tanggung jawab apa yang paling sesuai bagi kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَرْنَ في بُيُوْتِكُنَّ

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Al Ahzab:33]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum wanita untuk melazimi rumahnya. Bahkan hukumnya makruh bagi seorang wanita keluar dari rumahnya, tanpa adanya suatu keperluan, berdasarkan ayat di atas dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Wanita itu aurat, jika ia keluar maka akan diintai oleh setan. [HR At-Tirmidzi]

Sebagian kita kemudian bertanya : Mengapa wanita harus selalu tinggal di rumah? Bukankah wanita juga mempunyai potensi? Bahkan tidak sedikit kaum wanita yang memiliki tingkat intelegensi dan skill lebih dari kaum pria. Bukankah kita mampu bersaing dengan kaum pria? Demikianlah syubhat-syubhat yang sering dihembuskan setan dan bala tentaranya. Sekarang mari kita renungkan!

Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa wanita adalah makhluk yang lemah. Lemah dari segi fisik, lemah dalam akal maupun agamanya. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga mereka dengan penjagaan terbaik. Melindungi kaum wanita dengan sebaik-baik hijab yaitu rumah mereka. Selain itu, realita membuktikan bahwa tugas-tugas di dalam rumah tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan sempurna kecuali oleh seorang wanita. Karena itulah Allah Yang Maha bijaksana menjadikan rumah sebagai amanah bagi mereka. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

Seorang wanita adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga serta anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. [H.R.Muslim]

Sebuah amanah yang sudah selayaknya dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ketika menjelaskan beberapa sifat orang-orang yang beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa di antara sifat mereka adalah menjaga amanah yang dibebankan di atas pundak mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَالَّذِينَ لأََمنتهِم وَعَهْدِهِم راَعُون

Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya. [Al Mukminun:8]

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan balasan bagi mereka seraya berfirman:

ءولئك هُمُ الوَارِثُون{10} الَّذِين يَرِثُونَ الفِرْدَوسَ هُم فِيهَا خَالِدُونَ

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi jannah Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. [Al Mukminuun: 10-11]

Benar! Surga yang telah Allah janjikan. Lalu, adakah balasan yang lebih baik dari itu? Bukankah surga merupakan cita-cita tertinggi setiap pribadi muslim? Maka, sudah saatnya kita memompa semangat yang mulai mengendur. Kita bangun kembali harapan yang mulai memudar. Kita sambut tugas-tugas hari esok dengan penuh harapan. Dengan penuh keyakinan bahwa jerih payah kita tidaklah sia-sia. Setiap tetesan keringat kita itu memiliki nilai di sisi Allah Azza wa Jalla.

BERKURANG IBADAH SETELAH MENIKAH ?
Keluhan seperti ini kerap kali kita dengar dari mereka, yang dulunya rajin bangun ditengah malam menegakkan qiyamullail (shalat malam), rajin mengerjakan puasa-puasa sunah, tekun belajar, menghafal Al Qur'an, menghadiri majelis ta'lim, dan lain sebagainya. Setelah menapaki kehidupan rumah tangga tiba-tiba semuanya menjadi berubah dengan kehadiran seorang suami, disusul lahirnya anak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Kini, kekhusu'an shalat sering terpecahkan deru tangis sang bayi. Rasa letih kadang menghalanginya bangun di tengah malam. Jangankan mengerjakan shaum sunah, shaum wajib pun kadang tak mampu ia tunaikan. Saat sedang membaca tiba-tiba suami meminta untuk dilayani, dan masih banyak lagi. Sekarang ia merasakan waktu menjadi sangat sempit hingga terbersit dalam benaknya bahwa rumah tangga telah mengurangi ibadahnya kepada Allah. Apa memang benar begitu? Benarkah keluarga menghalangi seorang wanita untuk mendekatkan diri kepada Rabbnya?

Di sini kita perlu meluruskan persepsi. Mungkin anggapan itu benar, jika yang dimaksud adalah ibadah-ibadah ritual seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Karena tugas dan tanggung jawab seorang wanita jelas bertambah ketika ia telah menjadi ibu rumah tangga. Namun seorang muslimah yang memahami makna ibadah dengan benar, tentu tidak akan berasumsi semacam ini.

Para ulama mengatakan, ibadah meliputi segala sesuatu yang disukai dan diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan yang lahir maupun batin. Segala aktivitas kita sehari-hari bisa bernilai ibadah. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

Dan mendatangi istri adalah shadaqah. [HR Muslim]

Dalam hadits lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya, tidaklah engkau mengeluarkan nafkah dengan mengharap wajah Allah kecuali engkau diganjari pahala atasnya hingga sesuatu yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu. [HR Al-Bukhari]

Di dalam kitab Fathul Bari, Al Hafizd Ibnu Hajar menukil perkataan An-Nawawi, "Faidah yang ingin dipetik dalam hadits ini, ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "mengharap, yakni mencari, wajah Allah".

Imam An-Nawawi menarik sebuah faidah : Suatu aktifitas bilamana bersesuaian dengan kebenaran, maka tidaklah mengurangi nilai pahalanya (bila niatnya untuk beribadah). Sebab, menyuapkan tangan ke mulut istri biasanya dilakukan saat bercanda dengannya. Tentu saja hal tersebut bercampur dengan nafsu syahwat.

Namun demikian, bila tujuannya mengharap pahala Allah, niscaya ia akan memperolehnya dengan karunia dari Allah.

Ibnu Hajar melanjutkan : Dalam hadits lain disebutkan secara lebih gamblang lagi dari sekedar menyuapkan tangan ke mulut istri. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, disebutkan : Dan mendatangi istrinya juga terhitung sedekah!.

Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah seseorang yang melampiaskan syahwatnya juga mendapat pahala? Rasulullah berkata : Bagaimanakah menurut kalian bila ia melampiaskannya pada saluran yang haram?

Imam An-Nawawi melanjutkan : Jika demikianlah keadaannya, yakni perkara yang dikehendaki oleh nafsu, tentu lebih layak bila ganjaran pahala itu diberikan atas perkara yang tidak dikehendaki oleh nafsu!?

Beliau melanjutkan. Perumpamaan dengan menyuapkan tangan ke mulut istri tujuannya adalah untuk lebih mempertegas kaidah ini. Sebab, bilamana menyuapkan tangan ke mulut istri sekali suap saja sudah berpahala, tentu pahala lebih layak diberikan kepada siapa yang memberi makan orang-orang yang membutuhkan makanan, atau mengerjakan amalan ketaatan yang tingkat kesulitannya lebih besar daripada sesuap nasi yang diberikan kepada istri, yang tentu saja nilainya lebih rendah.

Lebih dari itu dapat dikatakan, jikalau pahala diberikan kepadanya karena ia telah memberi makan istrinya, yang tentunya ia juga memperoleh keuntungan darinya. Sebab makanan itu akan membuat tubuh istrinya tampak lebih cantik. Dan biasanya nafkah yang ia berikan kepada istrinya lebih banyak didorong oleh faktor nafsu. Tentu berbeda dengan bersedekah kepada orang lain yang tentunya lebih banyak menuntut pengorbanan, wallahu a'alam."

Jika sekarang ibadah ritual yang kita laksanakan berkurang, namun kita memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah dalam bentuk lain yang tidak ia dapatkan semasa gadis. Berbakti dan berkhidmat kepada suami, mendidik dan mengasuh anak-anak, mengatur urusan rumah tangga, dan lain sebagainya. Di samping itu Islam adalah agama yang mudah dan fleksibel. Di sela-sela kesibukan sehari-hari, masih banyak ibadah yang bisa kita lakukan. Dengan senantiasa berdzikir, mempertebal rasa syukur, beramar ma'ruf nahi munkar, memperbanyak tasbih, tahmid, takbir, tahlil, serta istighfar.

JADIKAN SELURUH AKTIVITASMU SEBAGAI IBADAH
Bila suatu amal yang besar bisa hancur karena niat yang melenceng, maka sebaliknya sebuah amal yang tampaknya sepele bisa menjadi sebuah ibadah yang bernilai karena niat yang lurus. Sekilas, rutinitas seorang istri sehari-hari memang tampak sepele. Seperti menyediakan hidangan, mengurus pakaian, merapikan rumah, melayani suami dan lain sebagainya. Tidaklah kita ingin semua itu menjadi ibadah yang bernilai. Tentu saja! Karena itu, hendaknya setiap wanita menata hati dan menjaga ketulusan niat semata-mata untuk meraih keridhaan Allah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'a memerintahkan setiap istri untuk meraih ridha suami.

Kerjakanlah setiap tugasmu sebaik mungkin dan profesional untuk mendapatkan keridhaan suami. Siapa wanita yang tidak mendambakan di dunia suami semakin cinta dan di akhirat ia mendapat surga'?

Demikian juga halnya dengan tugas-tugas sebagai seorang ibu. Mengasuh dan mendidik anak-anak kita, mendampingi dan membimbing mereka. Hendaknya kita lakukan semua itu dengan mencurahkan segenap kemampuan yang ada. Karena mereka adalah tabungan bagi kita, pada saat pahala seluruh amalan telah terputus. Saat pahala shalat dan puasa tak lagi bisa kita raih. Namun doa anak yang shalih, dan ilmu yang yang bermanfaat yang kita ajarkan kepada mereka akan terus mengalirkan pahala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya. [HR Muslim]

JANGANLAH ENGGAN BERDO'A
Sebagai insan yang lemah kita menyadari , bahwa kita tidak akan mampu memikul amanah ini tanpa kekuatan dan pertolongan dari-Nya. Amanah ini merupakan beban yang sangat berat kecuali jika Dia meringankannya. Akan menjadi sesuatu yang sulit, kecuali jika Dia memudahkannya.

Bukan suatu aib apabila kita banyak meminta dan berdoa kepada-Nya. Jadi, apa salahnya jika setiap hendak memulai aktivitas pada pagi hari, kita memohon kepadaNya agar dimudahkan dalam menyelesaikan semua tugas-tugas.

Akhirnya, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan semua usaha ini sebagai bekal bagi kita kelak pada hari ketika anak dan kaum kerabat tak lagi mempu mendatangkan manfaat, tidak juga kedudukan dan harta benda.
Wallahu a’lamu bish shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Source : http://almanhaj.or.id/content/3028/slash/0

Tegar Di Atas Manhaj Salaf



Oleh
Ibnu Luqman Al-Atsari



Di tengah derasnya gelombang fitnah akhir zaman yang ditandai dengan bermunculannya jama’ah-jama’ah Islam, maka tegar di atas manhaj salaf adalah suatu kemestian.

Jama’ah-jama’ah Islam yang ada mengklaim bahwa merekalah yang paling benar. Mereka mengaku bahwa mereka mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pada prakteknya mereka jauh dari pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah yang benar.

Disinilah letak pentingnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf. Sebagai penguat bahwa dalam memahami dien Islam ini, yang bersumber dari dua wahyu yang utama (Al-Qur’an dan Sunnah), harus diiringi dengan pemahaman dan manhaj yang benar yaitu manhaj salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Berikut ini sebagian fatwa para ulama kibar tentang wajibnya mengambil manhaj salaf dan bahayanya tahazzub. Wallahu Musta’an

FATWA SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI
Soal :
Apa yang dimaksud dengan salafiyah ?

Jawab.
Ketika kita mengatakan kami adalah salaf, maka yang dimaksud adalah generasi terbaik yang ada di muka bumi ini setetlah para rasul dan para nabi. Mereka adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam generasi pertama umat ini, kemudian para tabi’in yang datang setelahnya, kemudian para tabiut tabi’in pada generasi ketiganya. Tiga generasi inilah nama Salaf di mutlakkan, mereka adalah sebaik-baiknya umat. Ketika kita menisbahkan kepada salaf maka maksudnya, aku menisbahkan kepada generasi terbaik. Perlu dipahami pula bahwa penisbahan kepada perorangan atau kepada jama’ah tertentu yang mungkin bisa salah atau berada dalam kesesatan, baik sebagian maupun keseluruhan. [Al-Manhaj As-Salafi Inda Syaikh Al-Albani, hal.14]

Soal :
Mengapa kita perlu memakai nama salafiyah ? Apakah itu termasuk dakwah hizbiyah, kelompok atau sebagai madzhab? Ataukah mungkin dia itu kelompok baru dalam Islam ?

Jawab.
Sesungguhnya kata “salaf” sudah dikenal secara bahasa Arab maupun syar’i. Sungguh telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fatimah Radhiyalahu ‘anha ketika sakit yang membuatnya meninggal, beliau berkata : “Bertakwa dan bersabarlah engkau wahai Fatimah, sungguh pendahulu yang paling baik bagimu adalah aku”. Ulama banyak pula yang menggunakan istilah ini, contohnya adalah ketika mereka berdalil untuk memerangi bid’ah, mereka mengatakan.

“Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti orang-orang salaf (terdahulu), dan semua keburukan pada bid’ahnya orang-orang khalaf (yang datang kemudian)”

Akan tetapi ada orang yang mengaku berilmu mengingkari nisbah salafiyah dengan menyangka bahwa penisbahan ini tidak ada landasannya sehingga dia mengatakan : “Tidak boleh, seorang muslim berkata : Saya salafi”. Seakan-akan dia mengatakan : Tidak boleh seorang Muslim mengatakan : Saya mengikuti salafush shalih dalam jalan mereka dalam aqidah, dan suluk!”.

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini mengharuskan berlepas diri dari Islam yang shahih yang ditempuh oleh salafush shalih, yang pemuka mereka adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diisyaratkan dalam Shahihain dan yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesuadah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka”.

Tidak boleh seorang muslim berlepas diri dari intisab kepada salafush shalih.

Orang yang mengingkari penisbahan ini tidakkah engkau melihat bahwasanya dia menisbahkan dirinya kepada suatu madzhab, entah dalam aqidah atau fiqh?!

Maka dia bisa saja jadi sorang Asy’ari atau Maturidi, atau termasuk Ahlil Hadits, atau Hanafi atau Syafi’i, atau Maliki atau Hanbali, dari nisbah-nisbah yang terhimpun dalam nama Ahlus Sunnah. Padahal setiap yang menisbahkan diri kepada madzhab Asy’ari atau madzhab imam empat berarti dia menisbahkan diri kepada person-person yang tidak ma’shum….

Adapun orang yang menisbahkan kepada salafush shalih maka dia telah menisbahkan diri kepada kema’shuman –secara umum-.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut sebagian tanda dari Firqatun najiyah bahwasanya mereka berpegang teguh dengan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya maka dia telah berada di atas petunjuk dari Rabbnya dengan yakin…[Al-Manhaj As-Salafi Inda Syaikh Al-Albani hal.17, lihat pula Majalah Al-Ashalah edisi 9 hal. 87]

FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ
Soal :
Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang menamai dirinya salafi atau atsari? Apakah ini termasuk tazkiyah?

Jawab.
Apabila memang benar dia itu atsari atau salafi, maka tidaklah mengapa. Semisal apa yang dikatakan oleh para salaf, “si fulan salafi, si fulan atsari, itu adalah tazkiyah yang harus, tazkiyah yang wajib”. [Kaset Muhadharah “Haqqul Muslim” pada tanggal 16-01-1413H di Thaif]

FATWA SYAIKH SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN
Soal :
Apakah orang yang menamai dirinya salafi dianggap hizbi?

Jawab.
Menamai dirinya salafi apabila memang benar, maka tidak mengapa. Adapun apabila hanya sekedar pengakuan belaka, maka hal itu tidak dibenarkan menamai dirinya salafi sedangkan dia tidak di atas manhaj salaf. Maka orang-orang Asya’irah juga mengatakan : “Kami Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, perkataan mereka tidak benar, karena mereka tidak berada di atas manhaj Ahlus Sunnah, demikian pula Mu’tazilah mereka menyebut diri mereka orang-orang yang muwahhid.

Orang yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah wal Jama’ah harus mengikuti jalannya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan jalannya orang-orang yang menyelisihi. [Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 16]

Soal :
Bolehkah bagi ulama menjelaskan kepada para pemuda dan orang awam tentang bahayanya hizbi dan perpecahan?

Jawab.
Ya, bahkan wajib menjelaskan bahayanya perpecahan agar manusia berada di atas petunjuk. Karena orang awam akan tertipu, betapa banyak orang awam zaman sekarang tertipu dengan jama’ah-jama’ah yang ada, menyangka mereka di atas kebenaran?! Maka harus kita jelaskan kepada manusia baik pelajar maupun orang awam. Karena apabila ulama diam manusia akan mengatakan : “Lihatlah para ulama saja tidak berkomentar”, lewat celah inilah kesesatan bisa masuk. Ketika membicarakan dan mejelaskan masalah ini, tujuannya adalah agar manusia berada di atas ilmu terhadap perkara mereka”. [Muhadharat fil Aqidah wad Dakwah 318]

FATWA LAJNAH DA’IMAH
Soal :
Apakah yang dimaksud dengan salafiyah?

Jawab.
Salafiyah adalah nisbah kepada salaf, dan salaf mereka adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam yang mendapat petunjuk dari tiga generasi terdahulu yang telah direkomendasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan dalam sabdanya.

“Artinya : Manusia yang paling baik adalah generasiku, kemudian yang setelahnya dan yang setelahnya. Setelah itu datanglah sekelompok kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” [Muttafaq Alaihi]

Dan salafiyun adalah jama’ dari salafi nisbah kepada salaf. Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj salaf dengan mengikuti Kitab dan Sunnah, mendakwahkan dan beramal dengan keduanya, mereka itulah Ahlus Sunah wal Jama’ah. [Fatawa Lajnah Da’imah 2/241 no. Fatwa 1361]

FATWA SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL-WADI’I
Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi : “Ketahuilah bahwa mausia terbagi menjadi dua hizb (kelompok) : Hizbullah dan Hizbusysyaithan. Hizbullah, mereka mencintai setiap muslim di negeri mana pun, sama saja telah mengenalnya ataupun belum mengenalnya. Adapun apabila membatasi kecintaan, wala dan bara’ pada kelompok tertentu, maka itu adalah thaghut (hizbiyah). Loyalitas harus diberikan kepada setiap muslim di seluruh negeri Islam. Hizbiyah jahiliyah harus dimusnahkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Artinya : Ada apa dengan panggilan jahiliyah ini sedangkan saya berada di tengah-tengah kalian. Tinggalkanlah, karena hal itu sangat jelek”

Hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan ketika mendengar dua kaum saling memanggil kaumnya masing-masing. Yang dari Anshar berkata : “Wahai orang-orang Anshar!”. Dan yang Muhajir tak ketinggalan berkata pula : “Wahai orang-orang Muhajir!”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda.

“Artinya : Seluruh perkara jahiliyah telah aku musnahkan di bawah kakiku”

Semoga Alloh melindungi kita dari mengikuti hawa nafsu. [Ijabatus Sa’il ‘an Ahammi Masa;il hal. 375]

FATWA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Tidak ada aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya, dan bangga dengan madzhab salaf. Bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan para ulama, karena tidaklah madzhab salah kecuali di atas kebenaran. Apabila dia sesuai dengan salaf secara lahir dan batin, maka dia bagaikan seorang mukmin yang berada di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]

FATWA SYAIKH BAKR ABU ZAID
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid : “Apabila dikatakan : salaf atau salafiyun, maka ini adalah nisbah kepada salaf, mereka adalah para sahabat seluruhnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, tidak terbawa arus dengan hawa nafsu, mereka tegar di atas manhaj nubuwwah, maka mereka disebut salaf, salafiyun, yaitu salafush shalih. Lafazh seperti ini jika dimutlakkan maka maksudnya adalah setiap orang yang mencontoh para sahabat walaupun orang itu hidup pada masa kita. Inilah yang dikatakan oleh para ahli ilmu. Penisbahan seperti ini tidak ada simbol tertentu yang keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah, tidak akan terpisah walaupun sejenak dari generasi terdahulu. Adapun orang-orang yang menyelisihi mereka (para sahabat), dengan nama atau simbol bukanlah termasuk salaf sekalipun hidup di tengah-tengah mereka dan sezaman dengan mereka” [Hukmul Intima’ hal. 36]


Source : http://almanhaj.or.id/content/2111/slash/0